10. Closer

10.3K 1.5K 272
                                    

Costa tersenyum tipis melirik kotak makanan di bangku samping kemudi. Setelah bertemu Salsa, ia sengaja membeli seporsi cake cokelat keju untuk Thalia. Katakanlah ia penasaran. Bila dengan ponsel mahal tidak mampu meluluhkan hati gadis itu, siapa tahu makanan ini bisa menjalankan tugasnya. Terkadang selera wanita memang aneh, bukan?

Sesampainya di halaman rumah kos Thalia, malah setitik keraguan menghampirinya. Matanya menatap tak berkedip pada satu-satunya rumah kos yang terang benderang dari luar. Otaknya kembali berpikir, kali ini dengan lebih jernih dan waras.

Apa urgensinya hingga ia harus melunakkan hati gadis itu?

Thalia bukanlah siapa-siapa. Mereka kebetulan bertemu karena kecelakaan. Tiada yang istimewa dari gadis itu. Wajahnya tidak cantik, biasa-biasa saja. Tubuhnya pun tidak seksi, malah nyaris seperti kekurangan gizi.

Mulutnya bak ember bocor, mengoceh tak kenal lelah. Tingkahnya materialistis. Sikapnya jauh dari kesan manis, malah jutek dan menyeramkan.

Lalu, apa urusannya ia harus melunakkan hatinya segala?

Who the hell is she? She's no one, right?

Costa mengusap wajahnya sambil tertawa geli, merasa bodoh sendiri hanya gara-gara egonya yang terluka. Ia mengurungkan niatnya untuk turun dan memilih pulang saja.

Mendadak kantuknya datang. Mulutnya menguap lebar.

Costa mengenal ritme tubuhnya dengan baik. Ketika kantuk itu datang, ia harus beristirahat sejenak daripada nanti fatal akibatnya bila memaksakan diri berkendara. Ia adalah tipe orang yang gampang tertidur di mana saja. Tidak jarang dalam perjalanan, ia menepikan kendaraannya di tempat yang aman lalu istirahat sebentar.

Ia mendorong kursi ke belakang dan mulai berbaring.. Hanya dalam hitungan detik, ia pun terlelap.

***

Rasanya baru beberapa menit matanya terpejam. Telinganya sayup-sayup mendengar suara teriakan dari luar. Ia bangkit dan mengerjab-ngerjabkan mata. Kepalanya menoleh bingung ke segala arah.

Di depan sana, matanya memicing melihat pintu rumah kos Thalia terbuka lebar. Padahal tadi ia yakin sekali pintu tersebut tertutup rapat.

Ia perlahan keluar dari mobilnya dan seketika berlari kala suara teriakan itu semakin nyaring dari arah rumah kos Thalia. Sampai di depan pintu, ia melongok ke dalam dan mendapati gadis itu tengah berbaring di lantai dengan seorang pria berbaju hitam berada di atasnya.

Costa bergegas masuk dan menarik kerah baju pria itu dari belakang. Matanya terbelalak melihat pakaian gadis itu sudah acak-acakan. Kaos di bagian perutnya robek tak beraturan hingga sebatas dadanya.

Emosinya naik. Tanpa pikir panjang, ia mengepalkan tangannya dan melayangkan tinjunya pada pria itu.

Bugh!

Pria itu terjengkang ke belakang. Sebelum Costa kembali mendekatinya, dia telah berdiri tegak dan memperlihatkan ekspresi geram. Rahangnya mengeras. Dalam sekejab, pria itu berbalik keluar lalu kabur dengan mobilnya.

Costa memutuskan tidak mengejarnya. Sekilas ia tahu pria itu berada dalam pengaruh alkohol. Baginya kondisi Thalia lebih penting.

Ia mendekati gadis itu lalu menepuk pipinya. "Atha, hey! Kamu nggak apa-apa?"

Pupil gadis itu melebar ketakutan. Tubuhnya menggigil hebat seperti kedinginan. Wajahnya pucat pasi. Bibirnya bergetar.

Costa bergegas masuk ke kamar Thalia dan mengambil sehelai selimut dalam keremangan. Ia membalut tubuh gadis itu lalu menggendongnya ke atas sofa sambil terus berusaha menyadarkannya dengan menepuk-nepuk pipi dan bahunya.

Interlude - END (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang