19. Curtain

9.9K 1.5K 142
                                    

"Alarik Pradipta!"

Alarik yang sedang menulis di bukunya, seketika mengangkat kepala. Jari-jarinya berhenti bergerak dan teracung di samping kepala. "Saya, Pak."

"Bisa ikut Bapak sebentar, Nak?"

Ia meninggalkan pekerjaannya di atas meja dan mengikuti laki-laki tersebut menuju ruang guru. Dalam hati ia terus bertanya-tanya. Seingatnya, ia tak melakukan kesalahan apapun, mengganggu murid-murid lain di kelas, atau berkelahi, misalnya.

Setibanya di ruang guru, tampak seorang pria yang ia kenali sebagai ketua RT di komplek tempat tinggalnya tengah berbincang dengan kepala sekolah.

"Duduk dulu, Rik," pinta sang kepala sekolah menggamit lengan Alarik untuk duduk di sampingnya.

Alarik menurut. Raut wajahnya bingung. Ia memandangi tiga orang dewasa tersebut secara bergantian.

"Begini, Nak. Pak RT datang kemari, membawa kabar yang kurang baik bagi kita semua, khususnya untukmu." Sang kepala sekolah menghela napas dan merangkul bahu Alarik sebelum melanjutkan ucapannya. "Ayahmu ... baru saja berpulang."

Deg!

Dunia di sekelilingnya seakan berhenti berputar. Kata-kata kepala sekolahnya macam dengungan seribu lebah di telinganya. Wajahnya memucat. Ekspresinya luar biasa terkejut.

"I–tu nggak benar, kan, Pak?" Gugup ia mengkonfirmasi kepada ketua RT yang duduk di hadapannya.

"Maaf, Rik. Tapi itu benar. Bapak baru saja mendapat berita dari ibumu di rumah sakit. Jenazah ayahmu sedang dalam perjalanan menuju rumah duka."

Rembesan embun menggelayut membentuk genangan di kedua bola matanya. Semakin lama semakin banyak. Pupilnya melebar di tengah-tengah iris yang bergerak liar mencari kebohongan di setiap pasang mata yang menatapnya iba.

"Sabar, ya, Nak." Sang kepala sekolah meremas bahunya.

Alarik lalu menunduk dalam-dalam menyembunyikan tangisnya. Ia menggigit bibir kuat-kuat sampai rasa asin tercecap di lidahnya. Kedua tangan mengepal erat di pangkuan. Sang ayah mengajarkan, seorang anak laki-laki tak boleh menangis, harus kuat menantang pongahnya dunia.

Dengkulnya lemas kala sang wali kelas menuntunnya kembali untuk mengemasi sisa barang-barangnya. Langkahnya terayun gamang. Tubuhnya limbung tak bertenaga.

Tiada airmata yang tertumpah. Rasanya, apa yang baru didengar hanyalah mimpi.

***

Matanya memandang kerumunan tetangga di depan rumah mungil mereka. Ia berterima kasih pada pak RT yang telah memberinya tumpangan dan ikut keluar mendampinginya.

Setibanya di dalam, ia mendapati jenazah sang ayah telah terbujur kaku.

Ia sudah tidak kuat lagi. Kakinya tak mampu menopang bobot tubuhnya. Ia merosot ke lantai. Tangisannya bocah lelaki itu pecah. Airmatanya tumpah ruah.

"Ayah, bangun!!!" raungnya memanggil dan mengguncang tubuh ayahnya kuat-kuat. "AYAH!!!"

"Arik, sabar, Nak." Ibunya bergegas meraih tubuh ringkihnya dan membawa ke pelukannya.

Alarik menumpahkan segala sesak di dalam dada. Isaknya memilukan. "Kenapa Ayah ninggalin kita, Bu?"

Wanita itu tergugu berurai air mata. "Bukannya Arik ingat, ayah bilang, pada akhirnya kita semua akan kembali pada Sang Pencipta?" ujarnya melerai tangis anaknya sekaligus berusaha menguatkan bocah berumur sepuluh tahun yang belum terlalu mengerti pedihnya kehilangan. Setelah ini, hanya tinggal ibu dan anak yang saling menguatkan.

Interlude - END (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang