15. Retreat

10K 1.5K 271
                                    

Met buka puasa, genkss 🤗

Tidak bisa tidur semalaman dan hanya berguling dari kiri ke kanan, adalah sesuatu yang lumrah bila sebelumnya bibirmu dipagut mesra tanpa prakata. Eratnya dekapan Costa serta lembutnya bibir itu melumatnya, menjadi hal paling luar biasa yang terjadi di sepanjang sejarah hidupnya.

Malam itu Thalia seakan lupa diri. Ia malah menikmati ciuman tersebut, padahal mereka tak punya hubungan apa-apa. Bahkan dengan tak tahu malu mengakui bahwa pria itu adalah pencium yang baik.

Ia sejenak melupakan bahwa Costa adalah manusia berantah yang tak dikenal selain nama dan skandalnya, serta beberapa kali kemunculannya di rubrik properti.

Sampai siang hari, jantungnya masih berdegup kencang. Ia tak bisa berkonsentrasi dengan pekerjaannya. Matanya mengantuk, tetapi harus terus terbuka bila tak ingin Alfaraz menegurnya.

Bekerja satu ruangan dengan bosnya adalah bencana. Bila di kubikelnya Thalia bisa mencuri-curi waktu sebentar, tidak kali ini dimana mata sang penguasa bisa memergokinya kapan saja.

Gambar rancangan pondasi yang terpampang di layar komputernya tampak seperti kumpulan garis yang menari-nari sia-sia, semakin lama semakin kencang seolah mengejeknya. Bahkan sesekali ia yakin melihat wajah Costa muncul di sana sambil mengedipkan mata.

Ah, ini gila!

"Jangan senyum-senyum sendiri. Saya nggak punya waktu buat nganterin kamu ke RSJ," tegur Alfaraz tanpa mengalihkan mata dari komputernya.

Thalia terperanjat lalu merengut. "Kayak nggak boleh lihat orang senang aja, Pak."

"Senang boleh, tapi kerja tetap jalan."

"Ya, deh, Pak. Yang waras ngalah."

"Yang patut dipertanyakan kewarasannya itu adalah kamu. Dari tadi cengar-cengir kayak orang gila. Mau lihat buktinya di CCTV?"

Thalia lagi-lagi terkesiap. Ia celingukan menyapu seluruh sudut, apakah si mata-mata bisu tersebut memang tersembunyi di suatu tempat. "Memangnya ada CCTV, Pak?"

"Nggak!" sahut Al ketus.

Thalia mendengkus dan kembali berkonsentrasi dengan pekerjaannya.

Di jam istirahat siang, Alfaraz menghampiri meja kerjanya. Lengan kemeja pria itu telah tergulung hingga siku. "Kamu nggak makan siang? "

"Iya, Pak."

"Mau ikut makan siang bareng saya?" kata Al menawarkan. Ia kembali ke mejanya lalu mengeluarkan susunan kotak bekal dari dalam laci dengan alasan sang isteri membekalinya dengan banyak makanan dan tak sanggup menghabiskannya sendirian.

"Aduh, nggak usah, Pak," tolak Thalia tak enak hati.

"Nggak usah sungkan. Daripada mubazir," timpal Al seolah mampu membaca isi hatinya.

Thalia menurut. Ia menunggu atasannya mengeluarkan makanan serta nasi di atas meja kerjanya.

Satu suapan mampir di mulutnya, Thalia meringis. Sejujurnya makanan tersebut rasanya tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Apalagi bagi dirinya yang terbiasa memasak sendiri. Sayurannya hambar dan udang goreng baladonya sangat asin. Belum lagi menu lainnya, Thalia tak punya nyali mencicipi.

Namun, alih-alih kehilangan selera, bos besarnya tersebut terlihat amat lahap sampai piringnya licin. Entah lidah Alfaraz sedang mati rasa atau memang perutnya kelaparan tak terkira.

"Gimana rasanya?" tanya Alfaraz setelah meneguk segelas air putih.

"Enak, Pak."

Pria itu tersenyum geli. "Saya tahu rasanya berantakan. Maaf, ya."

Interlude - END (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang