14. Side of A Bullet

10.1K 1.6K 254
                                    

Awalnya, Costa hanya berniat membungkam mulut gadis itu saja. Ia menempelkan bibirnya dan menahan tengkuk Thalia dari belakang. Tadinya cuma ingin membuktikan bahwa dirinya tidak main-main dengan ancamannya. Rentetan kata-kata tak berkesudahan dari mulut Thalia yang sama sekali tak mengindahkan peringatannya, membuat posisinya sebagai pria merasa diremehkan.

Namun masalahnya, ia tak kuasa menahan diri. Lembutnya bibir merah muda itu membuat jantungnya berdebar kencang. Seolah ada kekuatan yang menuntun tangan kirinya nekat meraih pinggang Thalia dan menariknya mendekat, hingga tubuh mereka menempel erat.

Perlahan-lahan ia menggerakkan bibirnya, melumat dan mengulum bibir Thalia.

Manis. Itulah yang terasa.

Ketika belahan bibir gadis itu membuka dan membalas ciumannya, Costa hilang kendali. Ia menyumpah dalam hati. Respon Thalia sama sekali tidak ia prediksi. Tadinya ia berpikir Thalia akan menamparnya, menginjak kakinya, atau yang paling sadis menggigitnya.

Ia tak yakin bisa berhenti. Kedua tangannya mengangkat pinggang Thalia dan mendudukkannya di atas meja. Tak berhenti sampai di situ, ia kembali memagut bibir itu dan melumatnya dengan rakus. Tangan kirinya mengunci pinggang Thalia sedangkan tangan kanannya meremas rambutnya.

Thalia ikut terhanyut. Ia terpedaya. Tubuhnya melemah. Pagutan pria itu tidak terburu-buru, melainkan mengalun dalam irama yang amat teratur. Darahnya berdesir hebat. Jantungnya berdentam-dentam memekakkan telinga. Ia tanpa sadar menangkat tangan kanannya dan meraih tengkuk Costa, membalas hisapan demi hisapan dalam irama yang sama.

Costa mengerang.

Come on, find your way to stop, Costa!

Costa ingin berhenti, tetapi nalurinya malah memacunya agar terus maju. Ia tak punya daya untuk menarik kepalanya hingga semakin lama ciuman itu semakin intens.

Beberapa menit berlalu, Costa tersadar. Ia harus segera menarik diri atau akibatnya tidak akan baik untuknya maupun Thalia. Dengan berat hati, ia memperlambat tempo pergerakannya lalu lumatan itu lambat laun berubah menjadi kecupan-kecupan kecil sampai berhenti sepenuhnya.

Costa menarik diri. Keningnya bertaut dengan kening Thalia. Napas keduanya terengah-engah.

Wajah Thalia memerah. Rasanya tadi itu adalah bagian dari mimpi terliarnya. Namun, tatkala membuka mata dan mendapati pria itu memandangnya sayu, seketika ia sadar dirinya telah hanyut, masuk dalam permainan yang membahayakan dirinya sendiri, atau lebih tepatnya sekeping hati di kemudian hari.

Costa tersenyum kecil sambil berbisik lirih. Suaranya berubah serak dan terdengar seksi di telinga Thalia. "Now I finally find out, bagaimana caranya membungkam mulut nyinyirmu itu."

Napas Thalia memburu. Ia berusaha keras meredakan detak jantungnya yang bertabuhan. Pelan-pelan, ia menarik tangannya menjauh dari tengkuk Costa.

"Kenapa harus dengan ciuman?" balasnya berbisik.

"Saya nggak mungkin menamparmu," jawab Costa lirih.

"Tapi, nggak dengan ciuman juga, 'kan, Pak?"

"Karena dengan kata-kata saja sepertinya tidak cukup."

Thalia menggeleng. "Bapak lancang sekali mencium saya."

"Tapi kamu membalasnya. Dan, yah, bukankah tadi pagi saya sudah memperingatkanmu?"

"I–itu ... namanya insting," sahutnya tergagap, tapi tetap saja tak mau kalah. "Kita tidak punya hubungan apa-apa."

Costa terkekeh. Tangan kirinya masih belum sepenuhnya lepas dari pinggang gadis itu. Sedangkan tangan kanannya mengambil sejumput rambut yang menjuntai dari kening Thalia lalu menyelipkannya ke belakang telinga.

Interlude - END (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang