18. Trail of Broken Hearts

10.4K 1.5K 270
                                    

"Mengapa target penjualan bulan ini tidak tercapai?" Costa memijit-mijit kepalanya seraya membaca laporan penjualan yang diserahkan oleh CMO-nya. Ekspresi gusar terbaca jelas di wajahnya. "Anda mau, saya dibantai oleh dewan komisaris?" gertaknya lagi membanting helaian kertas tersebut di atas meja.

Posisinya di perusahaan menggantikan sang ayah semata-mata karena jumlah saham yang sangat dominan sehingga Wiratama's Property bisa dikatakan sebagai perusahaan milik keluarga secara tak tertulis. Tetapi tetap saja ia memikul pertanggungjawaban kepada para pemegang saham lainnya.

"Maksimalkan pemasangan iklan di media massa juga digital marketing di media online. Saya beri target baru, bulan depan penjualan harus naik sepuluh persen. Saya yakin kalian bisa memenuhinya," sambungnya tanda tak menerima penolakan, menekan mental sekaligus memberi kepercayaan di waktu bersamaan.

"Baik, Pak," kata pria itu sebelum dipersilakan keluar.

Bagi para jajaran yang terbiasa berkawan dengan sisi humanis dan kesantunan seorang Hamdan Wiratama, bekerja dengan anaknya adalah mimpi buruk. Costa di luar terlihat ramah, tapi di kantor bagaikan banteng yang siap mengamuk.

Baginya, dunia bisnis itu kejam, tak berperasaan serta mengenyampingkan sisi manusiawi sejauh mungkin. Itu sebabnya ia tak segan-segan mem-push para karyawan sampai batas maksimal. Lagipula, bila bisnis selalu mengedepankan sisi humanis, mengapa tidak mendirikan badan amal saja sekalian?

"Maaf, Pak, ada yang ingin bertemu," kata sang sekretaris setelah mengetuk pintunya.

Costa mendongak. "Siapa?"

"Hai, Costa," potong Salsa berjalan anggun ke arahnya. Wanita itu mengenakan long coat tanpa lengan berwarna cokelat muda. Di baliknya, dia mengenakan blus putih tipis sehingga bra hitam yang dipakai membayang dengan jelas, seolah memang sengaja menggoda sisi kelelakian lawan bicaranya.

Costa menghembuskan napas kasar. Ia sama sekali tidak mengharapkan kehadiran Salsa. Sepertinya, wanita ini telah mampu mencuri hati ibunya sampai berani mendatanginya pada jam kerja. Sisa mood-nya hari itu langsung berantakan.

Andai saja yang datang bukan Salsa melainkan Thalia, yang keluar dari mulutnya mungkin bukanlah gerutuan gusar melainkan sebuah senyuman.

Tapi, kenapa ia harus mengingat si tukang ngoceh itu segala?

"Ada apa?" tanya Costa tanpa basa-basi. Kedua tangannya menyilang di depan dada. Punggungnya menyandar malas di sandaran kursi.

"Begini caramu menyambut tamu?" sindir Salsa seraya duduk di hadapan Costa, dibatasi sebuah meja kerja yang cukup luas.

"Aku tidak mengundangmu datang ke sini, jadi jangan berharap terlalu banyak."

"Baiklah," Salsa menjeda perkataannya sejenak, memandangi wajah yang tak banyak berubah dimakan usia. "Aku kemari ingin membicarakan tentang rencana pernikahan kita."

Costa mengangkat alisnya lalu tergelak sinis. "Pernikahan my ass?"

Ia tidak terkejut sama sekali dan sudah menyiapkan diri jauh-jauh hari, sejak mengetahui sang ibu menyukai wanita itu.

Salsa menyunggingkan senyuman tipis seolah tak terpengaruh dengan sikap sinis Costa. "Kau tentunya tahu, tante Niken sudah setuju bila kita menikah. Jadi ...."

Costa menaikkan sebelah alisnya memotong pembicaraan. "Oh, ya?"

Salsa mengangguk. "Ya ...."

"Tidak akan ada pernikahan di antara kita, Salsa. Hubungan kita sudah lama selesai. Percaya diri sekali kau menawarkan pernikahan padaku?" Hilang sudah sopan santun karena sebelumnya masih menganggap wanita itu sebagai teman lama.

Interlude - END (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang