6. Accident

11.6K 1.4K 191
                                    

Begitu menginjakkan kaki di luar kantor sore itu, Thalia lagi-lagi harus merelakan bahwa di sisa harinya, mood–nya memburuk setelah melihat siapa yang menunggunya di luar.

Mau kabur pun rasanya tak mungkin. Pria itu sudah kepalang basah melihatnya dan menyunggingkan senyuman hangat di bibirnya.

"Apa kabar, Nak?"

"Papa ngapain ke sini?" sahut Thalia ketus.

Pria itu kembali tersenyum. "Masih belum mau bicara dengan Papa?"

Thalia menggeleng. "Nggak ada yang perlu kita bicarakan. It's over. Tidak akan mengubah apapun."

Hening sejenak. Pria itu menatapnya penuh kerinduan.

"Kamu dan Attar ...."

"Kami baik-baik saja," potongnya cepat.

"Look, Atha. You just need to listen to me, sekali saja. Setelah itu, Papa mempersilakanmu untuk memutuskan. Papa kangen puteri Papa. Rumah kita masih menunggumu pulang," ucapnya sendu.

Thalia dapat merasakan bola matanya tiba-tiba memanas dan ia berjuang keras agar pria di depannya tidak melihat gelagat bagaimana rapuhnya ia hidup sendirian. Ya, ia memang merindukan rumahnya. Tapi rumah tersebut berubah menjadi neraka sejak sang cinta pertamanya menikah lagi, hingga ia yang harus tersingkir, atau lebih tepatnya memilih mengasingkan diri.

"Ya ampun, laptopku ketinggalan!" serunya memukul keningnya lalu berbalik masuk lagi ke dalam.

Sang ayah hanya menghela napas berat. Sekian tahun berlalu, puterinya masih belum mau bicara dengannya. Ia pasrah masuk kembali mobilnya dan berlalu dari sana dengan sekeping rindu yang tak terlerai.

Mungkin, anaknya hanya butuh waktu sedikit lebih lama, demi meredam ego yang terluka hingga tak mau mendengarkan penjelasannya.

Sementara di dalam sana, Thalia mengintip dari balik tembok dengan airmata bercucuran. Bibirnya bergetar menahan isak. Ia ingin sekali berlari ke pelukan ayahnya yang sudah tujuh tahun ini tak lagi ia rasakan akibat pilihannya sendiri. Rasanya begitu sakit, seolah sudut hatinya ditusuk sebilah pisau berkarat.

Aku kangen, Pa!

Orang-orang hanya tahu, ia adalah gadis yang ceria dan bertingkah lepas seolah tanpa beban hidup. Dengan rapi ia menyembunyikan luka yang menganga atas pengkhianatan ayahnya.

Hampir sepuluh menit lamanya ia berdiam diri di sana, mengabaikan para karyawan yang menatapnya heran. Setelah itu, ia mengintip lagi keluar dan mendadak tersenyum melihat sebuah mobil lain terparkir di halaman.

Ia menghapus sisa air mata dan bergegas keluar.

"Hai," sapa Attar mengedipkan sebelah mata saat pintu mobilnya terbuka.

Thalia tertawa. Hanya Attar yang mampu membuatnya mengubah ekspresi secepat kilat agar pria yang ia perkenalkan sebagai 'teman tapi mesra' kepada semua orang itu, tidak banyak bertanya. Hanya saja, butuh akting yang super mumpuni untuk menyembunyikannya, karena Attar sangatlah peka.

"Are you OK?"

"Habis dimarahin si bos," sahut Thalia berbohong. Dalam hati ia berharap semoga saja Tuhan mengampuni dosanya telah memfitnah bosnya kali ini.

"Really? Again?" sahutnya tak yakin dengan jawaban Thalia. Kedua alisnya terangkat naik.

Thalia mengangguk membuang muka.

"Cari kerjaan di perusahaan lain aja kenapa, sih?"

"Tapi di sini gajinya paling gede."

Attar berdecak gusar. Thalia sering curhat akan perangai bosnya yang angin-anginan, tetapi tidak mau mencoba pekerjaan di tempat baru karena terlanjur nyaman dengan gaji dan bonus yang ditawarkan.

Interlude - END (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang