5. A Good Day

10.6K 1.5K 165
                                    

Met sahur genkss....
Votes-nya dong 🤭🤭✌✌✌

"Tambunsunya yang gede, ya, Uda. Yang panjaaaang!" pinta Thalia melongokkan kepalanya melewati meja counter rumah makan Padang tersebut. "Jan lupo, daun singkong sama piring terbangnya."

"Daun singkongnya yang panjang juga, Dek?"

"Memangnya bisa milih?"

Pria itu mengulum senyum tertahan. Kata 'gede' dan 'panjang', bagi para pria seringkali berkonotasikan yang 'iya-iya'. Tapi sayangnya, gadis di depannya menanggapinya dengan polos, sehingga ia tidak tega melanjutkan keisengannya.

Hanum geleng-geleng kepala menunggui Thalia di depan rumah makan tersebut. Urusan membeli nasi Padang adalah keahlian Thalia. Hanya dengan suara renyah dan lagak manjanya, ia bisa mendapatkan sepotong dua potong kelebihan lauk tanpa bayaran ekstra.

"Lo ngapain, sih, ngerayu uda Riki? Dia itu udah punya isteri!"

Thalia mengangkat bahu. "Gue cuma minta banyakin, apa salahnya? Lagian ngapain mau?"

"Nanti kalau isterinya marah lo ngerayu suaminya, gimana?"

"Emang isterinya yg mana, sih?"

"Itu, yang tukang ngambilin minum."

"Hah? Pantesan, dia ngeliat gue kayak ketemu kunti melulu. Serem!" Thalia bergidik ngeri. Ingatkan dirinya untuk melihat-lihat situasi sebelum menggombali uda Riki dengan rayuan recehnya. Atau, isteri si pria itu bisa menuduhnya yang bukan-bukan. Cukup sekali saja, dulu calon isteri bosnya yang menuduhnya sebagai pelakor, jangan ada lagi.

Setibanya di kantor, mereka duduk berhadap-hadapan membuka bungkusan tersebut.

"Astagfirullah, Tha! Lo mau jadi kambing? Sayurnya banyak amat!" Hanum melotot memandangi permukaan nasinya yang ditutupi sayuran berbentuk jari tersebut. "Ada jengkol segala! Nggak takut mulut lo bau?"

Thalia mengibaskan tangannya. "Di sanalah seninya makan jengkol."

"Nggak malu?"

"Ngapain malu? Memangnya gue maling? Jengkol itu makanan sejuta umat, Num. Ntar tinggal minum air hangat dan makan permen, beres!" Thalia mengibaskan tangannya. "Udahlah, kita ini rakyat jelata, makan aja apa yang ada!"

Hanum menghela napas sabar. Mendengar ocehan Thalia adalah makanannya sehari-hari. Kadang ia heran sendiri, kenapa bisa betah berteman dengan si pipa bocor ini.

Ia memulai suapan pertamanya, begitupun dengan Thalia.

Mungkin banyak yang bertanya-tanya, apa hubungannya antara jengkol dengan daun singkong. Apalagi di kebanyakan rumah makan Padang, dua menu tersebut seakan tidak terpisahkan.

Sewaktu kuliah dulu, Thalia memiliki ibu kos yang menanam pohon jengkol di belakang rumahnya. Setiap kali panen, anak-anak kos kebagian masing-masing satu kantong kresek.

Thalia yang awalnya tidak menyukai makanan berbau tersebut, lama kelamaan menyukainya. Katakanlah gara-gara kepepet, tidak punya cukup uang untuk membeli lauk yang layak di akhir bulan. Daripada terus menerus mengkonsumsi mie instan.

Ia pernah menderita jengkolan, ditandai dengan sakit pinggang luar biasa serta kesulitan buang air kecil. Sampai ibu kosnya membuatkan obat dari air remasan daun singkong untuk menetralkan kadar asam jengkolat yang terlanjur berkelana di organ dalamnya.

Itulah sebabnya jengkol dan daun singkong bersifat komplementer. Daun singkong berfungsi sebagai penetralisir sehingga jengkol tidak lagi membahayakan penggemarnya. Tetapi, tetap saja segala sesuatu yang berlebihan itu tidaklah baik.

Interlude - END (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang