3. The Nose

15.3K 1.3K 322
                                    

Semua manusia pasti akan mati. Namun, mati dengan cara yang tidak biasa, tidak semua orang beruntung mendapatkannya – Costa Arditya

Yosemite National Park, California.

Wanita itu membalik tubuhnya hingga berada di atas. Kerlingan mata dan senyuman sensualnya amat menggoda. Ia mengunci lengan Costa di atas kepala lalu mengikatnya ke pinggiran ranjang dengan seutas dasi.

Erangan dan desahan lolos dari sela bibirnya. Suara serak dan godaan lidah panas si wanita membakar gairahnya. Siluet tubuh meliuk-liuk erotis di keremangan, tetapi ia tidak bisa meraihnya, hanya bisa memandanginya dengan tatapan lapar tidak sabar.

Costa melenguh tertahan. Ia tidak tahan lagi untuk menyatukan tubuh mereka berdua, tetapi wanita itu sengaja mempermainkan hasratnya. Jemarinya yang lentik, menyusuri setiap inci kulit Costa dan sialnya itu semakin membakar. Ia hanya bisa pasrah, menikmati setiap cumbuan sensual yang membuatnya tak pernah puas.

Ketika wanita itu meraih inti tubuhnya lalu mulai menyatukan dengan miliknya, ia merasa di surga. Beberapa menit mereka mendaki kenikmatan bersama, sampai wanita itu ambruk lemas di pelukannya.

Costa melepaskan dasi longgar yang mengikat pergelangan tangannya lalu membalik posisi. Ia memacu tubuhnya memuaskan dahaganya sampai sedikit lagi berakhir dengan satu erangan panjang dan ...

"Costa!"

Sedikit lagi ...

"Costa! Hey, wake up, man!"

Costa tersentak. Matanya terbuka nyalang. Ia langsung terduduk dengan keringat bercucuran membasahi punggungnya. Saat memandangi sekelilingnya, ia menyadari hanya tidur sendirian. Ditemani setumpuk karabiner dan tali kernmantle. Lampu tidur portable yang tergantung di langit-langit tenda, sudah meredup sinarnya.

"Yeah," erangnya memberitahu bahwa nyawanya sudah berkumpul kembali di badan.

Ia meremas rambutnya kasar. Kepalanya sedikit menghentak nyeri karena terkejut saat dibangunkan. Sementara di bawah sana, ia merasakan ada yang lengket di balik celana dalamnya.

Costa mengerang kesal.

Astaga! Gue mimpi basah, lagi!

Sudah tak terhitung berapa kali ia mengalami mimpi yang sama. Dengan wanita yang persis sama dan berbagai gaya bercinta. Sayangnya, ia tidak dapat melihat wajah wanita itu dengan jelas. Pencahayaan dalam mimpinya sama sekali buram. Hanya aroma tubuhnya yang terasa amat dekat dan lekat di indera penciumannya.

"Elo digangguin jin, tuh. Makanya baca doa sebelum tidur," seloroh salah satu temannya saat ia memulai sesi curhat sesama kaum berjakun itu.

Costa merangkak membuka resleting pintu tenda, masih dengan sleeping bag menutupi hingga batas lehernya. Fajar mulai menyingsing. Sinar lembut kuning keemasan menampakkan diri di batas cakrawala. Kicauan burung mulai terdengar sayup-sayup sampai memenuhi gendang telinga dari arah bawah sana.

Cuaca pagi itu lumayan dingin. Suara angin menghempas lembut ke tenda mereka. Ia mendapati Carl di tenda sebelah sedang menyeduh dua cangkir kopi sambil mengusap ponselnya mencari informasi ramalan cuaca hari itu.

"Berdoa saja supaya cuaca hari ini bersahabat," celetuk Costa sambil menyeruput kopi yang dibuatkan oleh Carl. Sudah tiga hari mereka berada di taman nasional itu, tetapi masih belum mampu menaklukkan rute dengan tingkat kesulitan 5.9 C2 tersebut. Ditambah lagi, kemarin gerimis menjelang sore sehingga mereka mengurungkan niat dan terpaksa menggantung tenda dome di pitch ke dua puluh tiga, lima pitch menjelang puncak.

Carl terkekeh. "Aku lebih percaya ramalan cuaca daripada berdoa pada Tuhan. Useless!"

Costa tergelak dan tidak berkomentar apapun lagi. Soal keyakinan adalah pilihan masing-masing manusia dan bukan urusannya kalau Carl memilih menjadi atheis.

Interlude - END (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang