17. Knot

11.2K 1.5K 277
                                    

Dua minggu yang lalu.

"Kemarin Mama periksa ke dokter. Gula darah naik lagi, tensi juga tinggi. Kalau Mama nggak dapat menantu dan cucu secepatnya, dokter bilang harapan hidup Mama nggak lama lagi, Ta. Keburu stres nungguin kamu nggak kawin-kawin!" cerocos Niken saat anaknya baru sampai di rumah. Sedangkan sang suami mengamati interaksi yang terus diulang selama puluhan kali tersebut sambil geleng-geleng kepala.

"Nggak usah lebay, deh, Ma. Mana ada orang cepat mati gara-gara nggak punya mantu sama cucu?" jawab Costa tak mau kalah.

Ia menghempaskan bokongnya di sofa ruang keluarga. Kalau bukan gara-gara menghindari Thalia, malas rasanya ia pulang ke rumah. Tetapi walaupun begitu, yang namanya rumah tetaplah rumah. Meskipun kau bertemu pintu neraka di dalamnya, rumah adalah tempatmu pulang.

"Umurmu sudah tiga puluh tiga, Nak. Mau sampai kapan kamu nge-jomlo? Kamu tahu si Ardy, teman SMA mu itu? Anaknya sudah empat, Ta, empat!" Ratu drama itu kembali merepet, membentuk bilangan angka empat dengan jarinya.

"Wajarlah empat, Ma. Tamat SMA dia langsung kawin!" ketus Costa menyampaikan alibinya.

Terkadang mendengar ocehan mulai dari utara ke selatan, timur ke barat, yang keluar dari mulut sang ibu, ia sampai tak percaya bahwa keluarga mereka yang terkenal anggun, elegan dan berkelas di luar sana, di rumah tetaplah seperti rakyat kebanyakan, tak pernah puas dengan keadaan.

"Ck! Jangan-jangan, kamu nungguin si Lio menjanda? Keburu jadi kakek-kakek kamu, Ta. Nggak bisa punya anak lagi dia itu!"

Costa melotot. "Apaan, sih, Ma!"

"Mama kangen punya anak perempuan, Costa," rengek sang ibu mengguncang bahunya. "Andai saja adikmu masih hidup, kalaupun kamu memilih jadi bujang tak laku seumur hidup, Mama nggak peduli. Kalau kamu punya isteri, aduh, dijamin darah tinggi Mama langsung sembuh, sehat walafiat!"

Costa menutup telinga rapat-rapat. Kematian adik perempuannya saat masih kecil, praktis menjadikannya anak semata wayang. Sang ibu juga tak bisa hamil lagi. Padahal rahimnya sehat-sehat saja. Entah itu kutukan atau memang rezekinya sedang macet, mereka tak pernah tahu. Perkara maut, rezeki dan jodoh akan selamanya menjadi misteri Sang Ilahi, tak bisa dinegosiasi.

Memori kehilangan anak perempuannya itu pula yang kerap kali dijadikan senjata untuk bermain drama di hadapan Costa.

"Atau jangan-jangan kamu gay?" Mata ibunya setengah memicing.

"Astaga, Ma!" Costa terperangah. "Masa gay sih? Aku masih turn on kalau sama perempuan, Ma!" Terakhir kali saat berciuman dengan Thalia, juniornya masih bisa berdiri, bahkan susah payah ia mengendalikan diri. Seperti hidupnya paling nelangsa saja. Padahal jika mau, banyak sekali perempuan antri di luar sana demi mendapat gelar sebagai pasangannya.

"Ah, sudahlah. Ngeles aja kamu!" Niken mengibaskan tangannya. "Mama kawinin sama si Salsa saja, mau?"

"Ogah!"

"Lho, kenapa? Bukannya dia dulu pernah dekat denganmu?"

"Dia itu nggak pantas jadi menantu Mama."

"Nggak pantas bagaimana? Apa kurangnya dia, coba? Udah cantik, pintar, tajir ...."

Costa berdecak gusar. Apa boleh buat, ibunya memang sering menilai orang dari sampulnya. Kalau kebetulan nanti dia salah menilai, kembalilah mulutnya merepet. Yang jadi sasaran tentu saja orang-orang terdekatnya, anak dan suami beserta pembantu rumah tangga yang tak berdosa.

Ia diam saja mendengar ibunya mempromosikan mantan pacarnya itu dengan mulut berbusa-busa. Ia tidak mungkin membeberkan bagaimana kelakuan Salsa di masa lalu. Selain untuk menjaga nama baik perempuan itu, juga menjaga agar mulut ibunya tak kadung lepas saat sakit hati suatu hari nanti.

Interlude - END (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang