16. Rhythm

10.3K 1.7K 446
                                    

700 votes dong ✌

Costa terperanjat mendengar pekikan nyaring. Kepalanya langsung menoleh. Matanya membola melihat sebuah gunting hampir menancap di bahunya. Tangannya reflek menangkap pergelangan tangan Thalia dan memuntirnya hingga gunting itu terjatuh ke lantai. Kemudian, ia langsung berdiri.

"Aww!!!" Gadis itu tampak memejamkan matanya rapat-rapat dan meringis kesakitan. Tubuhnya gemetaran.

"Kamu gila, hah?!" hardik Costa marah. Untung saja ia dapat menangkap Thalia dengan cepat. Kalau tidak, dipastikan malam ini terjadi pendarahan dari bahunya.

Thalia perlahan membuka matanya dan ikut terkejut. "Lho, Bapak?"

"Pikirmu siapa?"

"Saya kirain maling, Pak. Maaf," cicitnya meminta maaf. Diam-diam napasnya berhembus lega.

Costa mendelik. "Mana ada maling di sini? Dasar norak!"

"Ya, mana saya tahu, Pak. Saya trauma kemalingan di kos. Celana dalam aja sering hilang," sahutnya menjabarkan kondisi penghuni rumah kos yang sering kehilangan pakaian dalam sampai Thalia tak berani lagi menjemur miliknya di luar.

Costa mendengkus.

"Lagian, Bapak ngapain tengah malam begini di dapur? Lagi nyari apa?"

"Nyari lauk, mau makan!" jawab Costa ketus. Perutnya sudah keroncongan sejak kembali dari rumah sakit. Sesampainya di unitnya, ia mandi terlebih dahulu lalu beranjak ke dapur untuk mengisi perut, mengabaikan telepon dan pesan Andre yang menyumpahinya. Tapi gadis sinting ini malah meneriakinya maling. "Mana lauknya?"

Thalia membuka lemari di sebelah kiri dan mengangkat jari telunjuknya. "Itu."

"Ngapain diumpetin segala?" protes Costa.

"Soalnya, tiap pagi lauknya hilang. Saya kirain digondol maling," jawab Thalia seadanya.

Kini terungkap sudah misteri kenapa aneka masakan yang ia siapkan sore hari selalu habis di pagi hari tanpa ia tahu siapa tersangkanya. Malam ini, sengaja ia menahan kantuk untuk menangkap si maling yang ternyata tuan rumahnya sendiri.

Costa menyalin nasi dan lauk ke piringnya. Ada menu cumi asam pedas dan pakcoy siram saus jamur yang membuat cacing di perutnya semakin merintih.

Thalia ikut menarik kursi dan menemani Costa makan. "Jadi, Bapak tiap hari makan di sini?"

Costa mengangguk. Mulutnya lahap mengunyah makanan.

"Saya kirain Bapak nggak makan."

Costa tak menjawab. Ia biarkan saja Thalia mengoceh seperti biasa.

Selesai makan, Thalia kembali mencecar Costa dengan pertanyaan. Ia melupakan ancaman Costa tempo hari. Melihat pria itu kembali, tak ayal membuatnya senang bukan kepalang. Jantungnya berdegup kencang. Entah apa sebabnya, tak melihat Costa terasa ada yang hilang.

"Bapak kemana aja, dua minggu nggak pulang-pulang?"

"Kenapa? Kamu kangen sama saya?" balas Costa bertanya.

"Idih, ge er! Siapa juga yang kangen sama situ. Yang ada saya selamat, nggak ditindas melulu." Thalia bersungut-sungut menyembunyikan perasaannya.

"Bukan urusanmu!" jawab Costa sambil membawa piring ke wastafel dan mencucinya.

"Bapak lahir di Kosta Rika, ya?" oceh Thalia lagi.

"Nggak. Saya lahir di Mimika."

"Papua?"

"Hmm."

Interlude - END (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang