21. Honesty

11.1K 1.5K 214
                                    

"Jadi, gimana ceritanya kamu bisa berakhir dengan si kunyuk itu?" celetuk Alfaraz pada Thalia saat jam kerja. Matanya tetap fokus pada layar komputernya.

"Kunyuk?" Thalia mengangkat kepala. "Siapa itu, Pak?"

"Si Costa." Al berdecak bosan.

"Kok, kunyuk, sih, Pak? Pacar saya, lho!" Thalia merengut kesal. Ia sudah mengira, Alfaraz akan bertanya. Kemarin-kemarin mereka tak bertemu karena bosnya itu terlibat proyek di luar kota sehingga ia bisa terhindar dari mulut julidnya untuk sementara.

Al mengabaikan gerutuan Thalia. "Pacar yang ke berapa?"

"Tujuh belas."

"Allahu akbar, Thalia!" Al menganga. Matanya membola. Ia tak menyangka, deretan pacar drafter-nya bisa sebanyak itu. "Kamu tambahin lima lagi, cari pelatih, sudah bisa bikin dua kesebelasan sepak bola!"

Thalia memutar bola matanya mengacuhkan tatapan tak percaya Alfaraz. Bila dibandingkan dengan rekor Alfaraz dalam berpacaran, tentu saja ia menang telak tanpa perlawanan.

"Dia yang nabrak saya, Pak. Terus, kami pacaran, deh," jawabnya enteng.

Begitulah siklusnya. Ia tak banyak berpikir setiap kali diajak berpacaran. Asalkan calonnya mumpuni dan layak untuk masa depan, dan yang paling penting bukan suami orang.

Tak jarang mantannya adalah para kepala proyek di lapangan, staf rekan bisnis bosnya dan banyak lagi. Bukankah ia pernah bilang, satu atau dua kali pertemuan, para pria itu sudah kecantol dengannya?

Entah karena apa, ia tak mau ambil pusing. Anggap saja itu Dewi Fortuna sedang berada di pihaknya. Baginya pacaran itu hanya status dan having fun, sekalian mengenali karakter si pria meski hanya sebentar.

Namun, memang benar kata orang. Apa yang didapatkan dengan mudah, juga akan lepas dengan mudahnya. Hubungan dengan para mantan, contohnya. Jangankan hitungan bulan, ada yang dalam satu minggu saja, ia sudah diputuskan.

Sore ini, Thalia harus kembali ke rumah kosnya. Ia tak enak hati berlama-lama tinggal di unit Costa. Tak baik untuk kesehatan mentalnya.

Costa sering membuatnya baper dan perasaannya tak karuan. Di malam minggu lalu contohnya, Costa menyebut calon isteri. Setelah itu, dia bersikap seolah kata-kata itu tak pernah terucap.

Thalia ingin sekali mengkonfirmasi, tapi tak berani. Ia tak tahu, semakin dirinya membiarkan, semakin dalam ia tenggelam.

Kakinya sudah sembuh. Saatnya melanjutkan hidup dan menghadapi kenyataan. Ia pun tak yakin, setelah ini hubungan mereka masih bertahan.

Terkait bagaimana Costa bisa mengenal Alarik, ia juga tak bertanya. Daripada nanti memancing kecurigaan Costa.

Kebersamaan Arik dan Renata malam itu membuat hatinya sedikit perih. Itu juga yang membuatnya dulu mengubur perasaan dalam-dalam, selain faktor penting lainnya yang tak bisa dikesampingkan.

Renata adalah sahabat dekat Alarik. Dahulu, gadis itu memberikan tatapan tak suka kepadanya secara terang-terangan. Padahal kalau dipikir-pikir, kendati sangat dekat di tahun pertama, hubungan Thalia dengan Arik hanya sekadar teman antara adik dan kakak kelas. Perasaannya tak bersambut karena Arik tak sekalipun menyatakan perasaannya. Pria itu tipe pendiam, pemikir dan tak banyak bicara.

Sungguh tak mungkin bila ia yang lebih dulu menyatakan rasa. Di mana letak harga dirinya?

Kini ia berusaha tak lagi ambil pusing. Hidup terus berjalan. Nyeri di hatinya suatu hari akan sembuh. Thalia yakin itu.

***

[Lio, bisa kita bertemu?]

Costa memutar-mutar ponsel di tangan yang menampilkan sebaris pesan yang ia kirimkan pada Liona. Kakinya menghentak-hentak tidak sabar di bawah meja. Sudah setengah jam menunggu, wanita itu belum juga muncul.

Interlude - END (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang