8. Money Talks

10.2K 1.6K 367
                                    

BLAMM!!!

Thalia membanting pintu keras-keras di hadapan Costa. Ia malu berat melihat mata pria itu melotot dan mulutnya menganga memperhatikan isi kosannya yang sudah dua minggu lebih tidak dibersihkan. Gulungan kertas dan alat tulis berserakan di atas meja. Pakaian kotor dan sepatu berceceran di lantai, kursi, bahkan ada yang tersangkut di atas televisi.

Di salah satu kursi kayu, bersandar sebuah gitar berwarna cokelat. Yang jadi masalah bukanlah gitarnya, melainkan sebuah bra merah maroon bertengger cantik tanpa rasa bersalah di atasnya.

Ia meringis dan merutuki diri dalam hati. Beginilah nasib jadi budak korporat. Sering lembur hingga saat tiba di rumah, ia sudah kelelahan. Di hari libur pun kadang tak sempat, karena harus mengejar pesanan demi menambah pundi-pundi uangnya, sekaligus menyalurkan hobinya bermain dengan kerajinan kayu, resin dan kaca.

Sedangkan di luar sana, Costa berdiri tegak tepat di depan pintu. Matanya mengerjab kebingungan. Gadis di depannya tadi ajaib sekali. Bukan hanya mulutnya yang tak punya sopan santun, tetapi sikapnya juga keterlaluan.

Mimpi apa ia semalam, hingga nasibnya harus sial berkepanjangan. Apalagi gadis yang ia hadapi bukan tipe kebanyakan yang mempan oleh wajah tampan. Alih-alih menatapnya dengan pandangan memuja, gadis itu menatapnya dengan sarat permusuhan.

Ia seketika menjadi tak punya harga di mata kaum hawa. Atau apakah selama ini, ia hanya kepedean saja mengira dirinya adalah segalanya?

Costa mengangkat bahunya tak peduli. Ia sudah terbiasa menghadapi tingkah ibunya yang angin-anginan dan memilih tidak ambil pusing dengan kelakuan gadis itu. Lagipula, ia dapat memakluminya. Gadis itu sedang syok mengingat hingga delapan minggu kedepan, pergerakannya serba terbatas. Untung saja kondisinya tidak terlalu parah hingga Costa bisa bernapas lega.

Ia pelan-pelan mengambil langkah mundur dan berbalik menuju mobilnya. Sesekali ia menoleh ke belakang, melihat jika pintu gadis itu terbuka dan ia bisa kembali menanyakan identitasnya.

Bukannya apa-apa. Costa memang membutuhkan identitas gadis tersebut untuk membantu mengurus kartu identitas dan tetek bengeknya nanti lewat tangan pengacaranya. Sedangkan di rumah sakit tadi, ia tidak tahu nama siapa yang didaftarkan oleh Andre sebagai pasien. Ia tidak mau memikirkannya. Bukankah itu gunanya ia membayar pengacara?

Beberapa menit berdiam diri dalam mobilnya, ponselnya kembali bergetar. Ia mengangkat telepon tersebut dan menjauhkannya dari telinga kala suara di seberang sana mulai meracau.

"Ya, Ma?"

"Andre bilang, kamu kecelakaan?"

"Hmm."

"Masih hidup kamu?"

"Sudah mati, Ma! Ini arwahnya yang lagi ngomong! Keren, 'kan, hantu bisa pegang ponsel?!" jawabnya kesal lalu memutuskan sambungan telepon tersebut.

Ia memacu mobilnya menuju apartemen. Menghindari rumah orang tuanya yang sekejap mata bisa berubah menjadi kandang singa.

***

Keesokan harinya, Thalia terbangun dengan kondisi tubuh terasa remuk redam. Persendiannya nyeri di sana sini. Rasanya seperti kau sudah lama tidak berolahraga, lalu tiba-tiba melakukan lari sprint seribu meter tanpa pemanasan.

Ia tertatih-tatih bangkit ke kamar mandi. Isi kantong kemihnya sudah meronta minta dikeluarkan. Bahu kirinya yang sudah nyeri dari kemarin, harus dipaksa lagi menyangga kruk di ketiaknya. Untung saja toilet yang ia punya adalah toilet duduk. Bekas luka di lututnya terasa sakit saat ia memaksa menekuk kakinya.

Tidak lama setelah mencuci muka, pintu kosannya diketuk dari luar. Ia lagi-lagi menggerutu.

"Selamat pagi," sapa seorang pria paruh baya tersenyum ramah kepadanya. "Anda, yang semalam kecelakaan?"

Interlude - END (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang