•Bab 10•

236 26 1
                                    

Untuk readers yang udah nungguin cerita ini up, author kasih boom sampe 5 bab. Jadi hargai kami dengan cara vote dan komen.

Hipi riding 😚

Pagi-pagi sekali Julian telah meninggalkan rumah, belum ada yang terbangun saat ini dia hanya menengok pintu kamar tamu yang di tempati Lira yang masih tertutup rapat. Tentu saja masih tertutup rapat, bahkan jarum jam saja belum sepenuhnya menyentuh angka tiga, masih terlalu pagi bagi Lira untuk bangun. Apalagi kemarin mereka jalan-jalan di luar dan pulang larut malam, atau mungkin bisa di sebut 'kencan' oleh Lira.

Hanya lampu berwarna kuning yang menempel di sekitar pilar rumah yang menjadi penerangannya berjalan menuju garasi rumah. Tapi siapa sangka ternyata tepat sebelum Julian menutup pintu mobil, Nick menghampirinya.

"Ah ... aku kira siapa! Mau kemana kamu, Jul?" seru Nick di samping mobil.

"Ada pekerjaan yang harus aku urus."

"Kau tak berpamitan kepada Lira? Dia bisa menyalah artikan tindakanmu sekarang dan kemarin. Kemarin kau seakan begitu perhatian kepadanya dan sekarang kau pergi tanpa menemuinya terlebih dahulu. Apa yang kau rencanakan Julian? Aku harap itu tak membuat Lira tambah terluka, maupun denganmu," ucap Nick panjang lebar.

"Sudah? Itu bukan urusanmu Nick ... aku pergi!" sahut Julian sebelum melajukan mobilnya.

Nick menghembuskan napasnya kasar, menatap mobil Julian yang kian menjauh dari jangkauan matanya. Dia tak bisa menebak cara pikir Julian yang sekarang, dulu dia begitu diam tanpa bisa menunjukan ekspresi diwajahnya. Namun, kini dia lebih bisa menunjukkannya, lebih tepatnya setelah ada Lira. Dan Nick tak bisa menebak perubahan itu, entah perubahan yang lebih baik, atau lebih baik Julian tak berubah jika itu akan menyakiti dirinya sendiri nantinya.

***

"Selamat pagi Nick," sapa Lira, "dimana tuan penculik, eh ... maksudku Julian, di mana dia? Aku tak melihatnya dari pagi tadi?"

"Selamat pagi juga Lira, Julian telah pergi pagi-pagi sekali tadi. Ada pekerjaan yang harus dia urus," balas Nick.

Lira menghembuskan napas lesu, sebelum akhirnya mengangguk dan berjalan kembali menuju kamarnya.

"Tak bisakah dia berpamitan kepadaku sebelum pergi? Apakah maksudnya yang kemarin itu?! Kenapa dia seakan memberiku harapan namun, langsung menghempaskan nya begitu saja," gerutu Lira sepanjang perjalanan menuju kamarnya. Dia menampilkan berbagi ekspresi berbeda mulai dari kesal, cemberut, marah. Namun, akhirnya dia hanya menampilkan ekspresi kecewa.

"Ah, dasar bodoh kau Lira. Memang kau siapanya dia hingga dia harus laporan terlebih dulu sebelum pergi. Mungkin ini salah satu efek terlalu lama menjomblo hingga aku terlalu larut kedalam perhatian Julian yang tak seberapa itu," gumam Lira menatap langit-langit kamarnya.

Siapa sangka setitik air mata jatuh dari sudut matanya, entah kenapa kini dia merasa sangat melankolis sekali.

Sekelebat bayangan bersama kakaknya lewat, biasanya di saat dia sedih, Zura lah yang selalu ada di sampingnya.

Yang tadinya hanya setitik kini jadi puluhan titik air mata jatuh dari matanya, dia berharap kini kakaknya ada di sampingnya, dia ingin bercerita banyak kepada Zura. Dia ingin bercerita jika ada, pria brengsek yang membuat adiknya menangis.

Jika saat itu dia tak kabur dari rumah, pasti sekarang dia masih bersama kakak dan ayahnya. Kenapa dia harus kabur ketempat sialan itu dan berakhir disini?

Flashback

_Setelah pertengkarannya dengan ayahnya itu, terkait masalah dia harus bekerja di perusahaan ayahnya namun dia menolak dan lebih memilih pergi dari rumah.

Lira tak berpikir panjang saat dia melajukan mobilnya pergi menjauh dari rumah. Yang dia pikirkan saat itu hanya pergi dari rumah, supaya ayahnya tak menyuruhnya bekerja di perusahaan ayahnya lagi.

"Apa salahnya jika aku tak ingin bekerja terkait dengan bisnis, emang salah kalau aku hanya suka menghias rumah? Kenapa ayah sangat meremehkan kemampuanku ini?" ucap Lira mencengkeram erat stir mobilnya.

"Lihat saja, aku tak akan kembali kerumah sampai papa mencabut keinginannya itu. Dan kak Zura kenapa dia tak membela ku sih?!"

Tanpa Lira sadari di belakang mobilnya, ada sebuah mobil yang mengikutinya dari belakang.

"Apa yang harus kita lakukan kepada nya?" tanya salah satu orang yang berada di dalam mobil yang mengirim Lira itu.

"Apa lagi? Tentu saja kita hanya mengawasi nya, dia sendiri yang akan membereskannya. Kita hanya mengawasinya saja. Jangan lupa ini target yang paling dinantikan oleh bos, jadi jangan sampai kita yang membuatnya lecet," jawab orang yang mengendari mobil.

Tiga orang temannya mengangguk mengerti, cukup lama mereka mengikuti mobil Lira yang menuju ke sebuah pegunungan yang biasa Lira datangi bersama kakaknya saat liburan sekolah.

"Berapa lama lagi?" tanya pria botak yang tengah merokok.

"Sebentar lagi, dia sudah datang rupanya." Seringai teman di sampingnya melihat mobil "dia" yang di maksud yang menyalip mobil mereka.

"Tugas kita selesai, mari kita bersenang-senang sekarang!" seru si pengendara memutar balik mobilnya.

Julian, si pengendara mobil yang kini mengikuti Lira. Dia menatap mobil Lira yang berjalan kencang. Sering muncul dibibir Julian, sebelum akhirnya dia banting stir menghadang mobil Lira.

Dan berakhir mobil Lira yang melaju kencang itu, menabrak badan mobil Julian.

Lira yang syok dan juga kepalanya yang terbentuk stir mobil membuatnya tak sadarkan diri saat Julian membuka pintu mobilnya.

"Ternyata kamu," gumam Julian lirih menatap wajah Lira.

Dengan gesit Julian membawa tubuh Lira kedalam mobilnya.

"Dia sudah di tanganku," gumam Julian lewat alat komunikasi di telinganya.

"Arghh ...." desis Lira tanpa membuka mata.

"Sayang sekali, kenapa harus kamu yang menjadi targetnya ... kuharap kau hidup."

Flashback off

"Aish ... aku menyesal telah kabur dari rumah," gumam Lira.

Jika dia tak keluar rumah, dia tak akan ada disini, dia tak akan kebut-kebutan di jalan, dan berakhir dengan menabrak sebuah mobil hingga tak sadarkan diri. Dan terdampar di tempat yang tak tahu dimana lokasinya ini.

"Kuharap kau hidup? ... siapa yang mengatakan itu? Jika dia berharap aku hidup, kenapa dia tak menyelamatkanku?! Aku bisa mati jika terus berada disini," ujar Lira kesal.

Hanya satu kalimat itu saja yang dapat dia ingat saat dia mulai kehilangan kesadaran diri secara penuh. Dia penasaran siapa yang mengatakannya.

Puas dengan acara menangisinya, Lira menghembuskan napas kasar menatap kamar yang dia tempati beberapa hari ini.

"Aish ... kenapa dia memiliki selera interior kamar yang buruk sekali sih?! Benar-benar merusak pemandangan, aku rindu kamarku." tak sepenuhnya apa yang dia katakan itu adalah kebenaran. Dia memang merindukan kamarnya, tetapi dia bohong jika menyebut interior kamar ini dengan sebutan 'merusak pemandangan' Lira hanya tak bisa mengakui fakta jika interior kamar ini yang begitu nyaman untuk di tinggali. Memang tak banyak hiasan dinding atau furniture lainnya, namun bentuk kamar yang unik ini memiliki nilai plus sendiri.

Bersambung

18 April 2020

The Syndrom [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang