•Bab 2•

423 43 0
                                    

Budayakan memvote sebelum membaca karena dukungan kalian sangat berharga bagi kami sebagai penulis.

Hipi riding 😚

Lira menahan nafas sesaat setelah memasuki sebuah ruangan, inderanya tak dapat menangkap pasti objek yang ada di depannya, terllau gelap dan juga dia tak ingin melihatnya. Dia sangat yakin jika bau anyir yang dia cium adalah bau darah, dan juga suara rintihan kesakitan yang sayup-sayup dia dengar membuat bulu kuduknya berdiri.

"Buka matamu." Suara datar yang langsung menyapa indera pendengarannya. Mata Lira yang semula tertutup, kini mulai terbuka perlahan. Mata dingin itu langsung menusuknya, memberikan rasa ancaman dan bahaya yang membuatnya terpaku tak bisa bergerak. Bahkan sekedar untuk menelan ludah-pun sangat sulit, seakan ada jalan berbatu di tenggorokannya.

"Julian ini obatnya," seru seorang pria berpakaian hitam yang Lira yakini sebagai salah satu pengawal pria keparat yang menamparnya tadi.

"Tempat apa ini? Kenapa sangat menjijikan. Banyak darah dan juga—" Lira tak bisa melanjutkan ucapannya lagi.

Pemandangan disekitarnya yang kini terlihat jelas, karena lampu di nyalakan. Sesosok manusia yang tergantung, dan dapat di pastikan sudah menjadi mayat. Lidahnya yang keluar, dan juga tubuhnya yang penuh luka. Dan juga, ada sekitar 3 orang pria, dan 2 orang wanita dengan kondisi tubuh yang amat memprihatinkan. Apalagi 2 orang wanita itu, dengan tubuh penuh luka dan juga telanjang bulat. Lira tak bisa membayangkan apa yang telah terjadi kepada mereka, yang jelas itu sesuatu yang tak layak untuk di pikirkan.

"Aish ... " desis Lira saat kapas basah karena alkohol mengenai sudut bibirnya.

"Pelan-pelan ... ini sangat sakit," lirih Lira, mencoba berbicara kepada sepotong manusia di hadapannya ini. Ya! Pria dihadapan Lira ini, pantas di katakan sepotong manusia, karena sosoknya yang amat dingin dan juga sangat amat membosankan, itu yang ada di pikiran Kita.

Tentu saja membosankan, sosoknya yang tak berbicara dan juga tak bisa berekspresi.

"Siapa namamu? Wajahmu terlalu tampan untuk menjadi anak buah pria brengsek itu." Bukan jawaban yang Lira dapat melainkan tatapan tajam yang langsung membuat nyali Lira ciut.

"Bisakah kalian memindahkanku dari ruangan ini? Aku sangat tak suka disini, dan juga ini seperti tempat penjegalan sapi," cerocos Lira.

Ya! Seperti tempat penjegalan, dilihat dari banyaknya pisau berbagi ukuran dan juga— tak usah di jelaskan, selebihnya seperti yang Lira lihat tadi.

"Huek ... aku rasanya ingin muntah kalau terus-terusan disini. Cepat katakan kalian ingin uang berapa?! Ayah dan kakakku ak—"

"DIAM!! Kau ingin menjadi salah satu dari mereka?! Jika iya! Teruslah berbicara, dan aku dapat pastikan kau akan menjadi seperti mereka. Bahkan, ayah dan kakakmu pun tak akan dapat mengenalimu." Lira tercengang mendengar perkataan pria dihadapannya ini. Dia tak menyangka jika sepotong manusia itu, dapat berbicara. Dia kira pria ini akan terus diam. Tetapi kenapa saat dia berbicara sangat sakit di hati, sungguh kejam. Lira tak akan pernah berbicara kepadanya lagi.

"Obati dirimu sendiri." setelahnya Julian berjalan keluar dari ruangan itu. Mengisahkan Lira dan para orang-orang itu.

Lira menekuk lututnya, kepalanya ia tenggelamkan kedalamnya dengan tangan memeluk kedua kakinya, jika boleh jujur dia sangat takut kali ini. Dia menyesal, telah pergi dari rumah. Jika waktu bisa diulang, dia akan memilih memenuhi keinginan ayahnya. Tak apa walaupun itu tak sesuai dengan keinginan Lira, tetapi itu lebih baik daripada berada dalam kondisi seperti ini, di tempat seperti ini, dan juga dengan orang-orang asing yang berbahaya.

"Tak ada gunanya kau meratapi nasib nona." suara lirih itu membuat Lira mendongakkan kepalanya.

Terlihat salah satu dari 2 wanita yang berada di sebelah selnya itu berbicara menahan sakit, suara ringisan pun selalu Lira dengar.

"Kenapa? Aku ingin keluar dari tempat ini! Aku ingin bertemu ayah dan kakaku ... hiks ... hiks ... aku ingin bertemu ayah dan kakak ...."

"Kerena kamu tak akan keluar dari sini. Orang yang sudah masuk kedalam tempat ini, hanya dapat bebas jika dia mati. Seperti dia." dia menunjuk manusia yang tergantung itu. "Dia sebentar lagi akan di keluarkan dari tempat ini, betapa bahagianya dia."

Lira tak menyangka dengan apa yang di katakan oleh wanita itu, kenapa bisa bahagia jika nyawa kita di ambil paksa seperti itu.

"Tentu saja bahagia nona, pilihan mati adalah yang terbaik disini daripada mendapat siksaan setiap saat," ucap wanita itu, seakan dapat membaca pikiran Lira.

"Berapa lama kamu ada di sini?" tanya Lira.

"Entahlah aku lupa, aku tak menghitung lagi setelah hitungan ke 100," jawab wanita itu tersenyum pahit. Lira dapat merasakan kepedihan di dalamnya, matanya menyorotkan rasa sakit yang tak terbendung lagi. Teriakan meminta tolong terlihat jelas di kedua mata wanita ini.

"Apa yang terjadi kepadamu dan dia?" tanya Lira menunjuk wanita yang lebih muda dari wanita yang berbicara kepadanya ini.

"Sesuatu yang amat menjijikan, aku menyesal telah melakukan kejahatan itu, sehingga aku masuk kedalam neraka buatan manusia ini. Aku harap malam ini aku mati, walaupun akan sulit untuk bertahan di tempat seperti ini. Tetapi janjilah satu hal kepadaku, bertahanlah hidup. Walaupun itu mustahil." Itu perkataan terakhir wanita itu, sebelum akhirnya dia dan wanita di sampingnya di bawa pergi oleh beberapa penjaga ke salah satu bilik. Yang berdempetan dengan sel yang ditempati Lira.

Suara-suara bejat yang keluar dari beberapa orang di balik bilik membuat Lira tambah ketakutan, teriakan meminta tolong dan ampun dari kedua wanita itu seakan tak pernah terucap. Penjaga-penjaga yang Lira yakini lebih dari 2 orang itu, seakan tuli tak dapat mendengar. Mereka malah menikmati saat kedua wanita itu menangis putus asa.

Lira tak kuat mendengarnya lagi, dia menutup telinganya rapat-rapat dengan kedua tangannya. Air matanya kini lolos dari sarangnya. Dia tak bisa membayangkan jika nantinya dia akan menjadi seperti mereka.

"Ayah, Kak Zura, aku takut ..." lirih Lira berulang kali, hingga kegelapan itu merenggut kesadarannya.

***

"Segera siapkan uang! Tak peduli seberapa banyak yang mereka minta mau itu 100.000 dolar atau 1 juta dolar pun aku tak peduli! SIAPKAN SEKARANG JUGA!" teriak Brama kalap.

"SEGERA SIAPKAN!" teriak Zura yang tak tahu beda dengan Ayahnya.

Pikiran mereka berdua sama-sama kalut, mereka tak bisa menganggap enteng surat ancaman itu. 'Siksaan dan paksaan?' mereka berdua tak bisa membayangkan bagaimana takutnya Lira disana.

Mereka yakin Lira saat ini tengah ketakutan dan juga pasti tengah menunggu mereka berdua menjemputnya.

"Tuan, uangnya telah siap," seru Jordan, kepala pengawal mereka.

2 buah koper yang isinya uang pecahan dolar untuk memenuhi tuan putri mereka.

Bersambung

07 April 2020

Tak bisa mengingatkan, silahkan vote dan komen ceritanya biar author rajin update cerita baru.

The Syndrom [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang