Bulan telah naik takhta. Memerintah para bintang yang terkadang sombong sekali tampakkan diri di hadapan bumantara yang gelap gulita. Ada beberapa yang menjadi pusat atensi Yoongi ketika sedang duduk-duduk santai bersama Jennie di belakang gubuk, termasuk bentuk bulan yang barangkali habis dikikis tupai hingga menyisakan setengah saja. Yoongi bisa rasakan kalau kantuk mulai menyerang, tetapi ia tak melawan. Jennie pun demikian. Entah sebab apa, yang mendasari keinginan mereka berdua untuk menjenguk bumi yang renta di malam hari. Tidak ada yang tahu. Kendati Kanan dan Kiri yang cintai malam lebih-lebih daripada sosok Jennie dan Yoongi.
Jennie lirik keberadaan Yoongi. Pria itu sudah menggunakan baju dan jubah duplikat yang berhasil dia sulap dari tumpukan daun kering terbengkalai di belakang gubuk. Dia amati betul-betul si manusia tulip yang sialan sekali lebih tampan dibanding dari apa yang pernah dia bayangkan sebelumnya. Yoongi punya kulit berpigmen pucat bersih, sudah pernah dia katakan walau tersirat kalau Yoongi itu seperti salju. Warna rambut Yoongi belum dia ubah sama sekali karena Yoongi dengan rambut putih pun ternyata tampan juga. Mata Yoongi yang serupa bulan sabit kadangkala mampu menyeret paksa iris matanya yang tak bersalah agar mau berporos secara sukarela di sana dengan tempo lama-lama. Dia tidak akan bisa menjabarkan ketampanan Yoongi yang ditempa sinar rembulan kali ini sebab Yoongi lebih dari sekadar tampan. Yoongi itu indah.
Bulan mengamati angin yang berembus menerbangkan surai hitam Jennie ke sana kemari tanpa perizinan. Hanya Yoongi yang bisa lihat Jennie di malam hari tanpa mengenakan jubah, tongkat, dan topi kerucut sebagai penanda bahwa si Imogen itu adalah penyihir.
"Yoongs, aku harap kau mampu mengetahui keadaan yang terjadi saat ini," bisik Jennie di semenjana embusan angin yang sesekali terpa hidungnya.
Yoongi menolehkan kepala. Jennie telah ajarkan bahwa tata krama berbicara dengan manusia adalah menatap dan memperhatikan orang yang sedang mengeluarkan suara. "Dingin, 'kan, Juni?" Ia menjawab transparan. Udara malam hari memang dingin, Yoongi tidak sepenuhnya salah.
"Sudah kubilang, jangan panggil aku Juni!" Dia menggeram kesal. Yoongi punya pendengaran dan pemahaman yang buruk meskipun wajah pria itu lebih dari sekadar tampan. Namun, Jennie tak pernah menyesal karena telah membantu Yoongi untuk lahir ke dunia.
Yoongi menelengkan kepala. "Lalu?"
Jennie harus lebih melapangkan dada ketika Yoongi dengan air muka datar tanpa raut bersalah tiba-tiba merespons perkataannya dengan jawaban singkat. Dia menepuk dahi, lalu menyahut, "Jennie. J-e-n-n-i-e, Jennie."
"Oh," balas Yoongi, "baiklah, Juni."
Tolong ingatkan Jennie untuk bersabar tiap kali mendapat respons tak sesuai ekspektasi yang keluar dari bibir Yoongi. Jennie nyaris menggigit lengan pria yang kini masih menelengkan kepala itu menggunakan sandalnya.
Jennie melipat tangan di depan dada, lalu membuang pandangan ke sembarang arah—yang penting bukan menatap Yoongi.
Sudah lewat 24 jam atau belum, ya?
Jennie pelupa, bukankah itu sudah jadi rahasia umum? Tidak perlu kaget jika tiba-tiba Jennie mencari-cari keberadaan topi kerucut di atas kepala, tetapi menunduk ke bawah meja sambil berkata, "Astaga, ke mana topiku? Ini pasti ulah Kanan."
Lupakan, Jennie dan Yoongi hanya ingin berdiam diri untuk sementara, jadi tidak ada yang perlu dideskripsikan selain betapa konyolnya tingkah Jennie di lima ratus lebih dia hidup di Pixabay bersama Kanan dan Kiri.
Ketika pohon dengan daun berwarna hijau yang jarang sekali bisa ditemui di Pixabay tiba-tiba meranggaskan satu helai di antara beratus-ratus daun yang melekat pada dahan, Jennie seketika teringat cara Hoseok mencium wanita di pojok ruangan gubuk pria itu. Dia ingat dengan betul bagaimana jari-jari Hoseok yang lihai sekali dalam urusan menyingkirkan anak rambut yang menutupi pandangan dari wajah wanita itu. Dia bisa lihat kilas balik yang sialan sekali mengejeknya dengan ciuman panas Hoseok dan si wanita misterius tanpa detik sebagai jeda. Dia tersakiti, tetapi tak punya hak untuk memuntahkan lara yang telah bersemayam di urat-urat nadinya kepada Tuan Brengsek Hoseok.
Maaf, Jennie ingin meralat.
Hoseok tidak brengsek. Di sini hanya Jennie yang terlalu terbawa arus hingga berdampak pada hati yang utuh tiba-tiba berubah menjadi retakan-retakan kecil. Jennie tak punya kendali untuk perasaan yang menggebu-gebu tiap kali pandangi Hoseok ketika mengaduk ramuan. Dia tidak punya kuasa untuk menghentikan debar jantung yang abnormal tatkala Hoseok menyuapinya roti tulip beberapa minggu yang lalu. Dia tidak punya kendali lebih untuk mengatur perasaan yang entah kenapa bisa diatasnamakan oleh alfabet penyusun nama Hoseok.
"Juni, matamu banjir."
Jennie lupa kalau di sini masih ada Yoongi. Dia lekas hapus air mata yang jatuh tanpa permisi membasahi sepasang pipi di bawah cahaya bulan pada malam hari menggunakan punggung tangan. Dia tatap wajah Yoongi yang senantiasa tak berekspresi, tetapi di beberapa kesempatan seperti sekarang ini, dia bisa baca raut khawatir yang dicetak samar-samar oleh alis serta pendar dari bola mata Yoongi.
Jennie mengubah air muka menjadi guratan jengkel. "Sudah kubilang, aku Jennie!" Dia membuang pandangan, lagi. "I-ini namanya air mata, bukan banjir, Bodoh."
"Oh."
"Kau tidak punya respons selain 'oh', Yoongs?" Jennie berdiri dari kayu yang didudukinya bersama Yoongi. "Kau harus baca kamus yang sudah kuletakkan dengan di atas meja lebih sering supaya kosakatamu tidak hanya oh, baiklah, apa, siapa, lalu, dan bla, bla, bla."
Yoongi menganggukkan kepala. Ia hanya bisa menurut saja ketika Jennie berceramah hingga membentuk ribuan kata dan merangkainya jadi alinea. Tidak masalah karena menurutnya aneh saja ketika Jennie diam-diam mengigit bibir dan mengeluarkan air mata seperti tadi, baginya.
Jennie hendak langkahkan kaki menjauhi Yoongi. Namun, belum sempat tiga tapak dia lalui menuju pintu belakang gubuk, suara Yoongi yang malas-malasan tersua jelas memasuki gendang telinga secara tiba-tiba.
"Kenapa bagian ini berbunyi, Jun?"
Jennie memutar tubuh, menatap jari telunjuk Yoongi yang mengarah pada perut pria itu sendiri. Untuk beberapa detik yang merangkak menjauh, dia perlu hirup oksigen dengan rakus. Dia kepalkan dua tangan di sisi samping tubuh. Kemudian berkata, "Turunkan bajumu, Yoongs, jangan pamer badan di hadapanku!"
Lagi-lagi Yoongi menurut.
Jennie pun menghela napas. Dia memutuskan untuk mendekati Yoongi, lalu menuntun kepala pria itu untuk mendekat. Dia mengusap-usap kepala Yoongi menempel di bagian perutnya—karena Yoongi masih duduk di kayu. "Yang kautunjuk tadi, namanya perut," tutur Jennie. Dia membiarkan Yoongi membenamkan wajah di perutnya yang masih tertutup pakaian. "Kalau perutmu berbunyi, berarti kau sedang lapar. Kau sudah tahu arti 'lapar', kan?"
Yoongi mengangguk tanpa menyahut.
"Ayo, pulang," ajak Jennie sembari mendorong kepala Yoongi yang masih asik bersandar pada perutnya. Dia rangkum wajah Yoongi menggunakan dua telapak tangan, lalu menempelkan hidungnya pada cuping hidung Yoongi. Dia berkata, "Aku punya roti tulip ukuran besar. Kau harus mencobanya, Yoongs."
Belum genap satu hari Jennie lewati bersama kehadiran Yoongi, tetapi lubuk hatinya sudah menyediakan tempat istimewa—kendati tak semegah ruang khusus Hoseok—untuk Yoongi berdiam diri di sana. Sudah Jennie bilang, Yoongi itu indah. Maka dari itu, dia tidak punya alasan untuk melarang Yoongi menetap di salah satu bilik nuraninya secara cuma-cuma dalam rentang waktu yang lama—atau barangkali selamanya.
***
Tbc.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Pythonissam
FanfictionPada tahun-tahun yang berguguran bersama daun berwarna oranye di Pixabay, Jennie Imogen yaitu seorang penyihir pemula hendak menciptakan sebuah mantra yang dapat mengubah kehidupan di negerinya. Jennie mengikuti sebuah sayembara yang diadakan setia...