03

154 26 0
                                    

Ketika magenta dan oranye kemerahan yang melukis langit di kala sore dapat membuat Jennie terpekur frustrasi dengan rangkaian kalimat yang hendak disusunnya agar bisa menciptakan sebuah mantra ajaib. Dia sudah coba untuk menyusun dari kata 'alkazazembra' sampai kata 'zembeisazia' tetapi sampai mulut berbusa-busa seperti manusia normal yang mati karena keracunan sianida, dia tetap tidak menemukan kata yang pas untuk dijadikan satu frasa. Padahal, dia pernah menulis satu buku sejarah Pixabay yang punya halaman sekitar seratus sepuluh atau lebih di atas itu seorang diri dengan tulisan tangan. Bayangkan saja, itu tulisan tangan, Jennie mau bersumpah kalau dia tidak mengayunkan tongkat dan membaca mantra ketika menulis buku tersebut.

Abaikan saja perihal itu. Dia masih punya setumpuk tugas sebagai seorang penyihir pengangguran. Kanan dan Kiri juga butuh makan, sedangkan persediaan tulip merah dan kuning di gubuknya nyaris tandas, hanya tinggal masing-masing setangkai. Dia mau bertekad untuk selesaikan dengan segera mantra baru yang akan diikutsertakan dalam sebuah sayembara lima ratus tahunan Pixabay. Jennie hanya perlu merangkai kata hingga menjadi sebuah frasa, dia butuh referensi dan pengetahuan lebih agar bisa menciptakan mantra yang dapat mengubah kelopak tulip putih menjadi seorang manusia. Dia sudah duduk di depan dua tumpuk buku kamus Pixabay, dan sampai berjam-jam luruh dari dinding, dia masih belum dapatkan satu pun mantra yang cocok.

"Tulip menjadi manusia." Jennie bersenandika sembari pandangi kamus tebal di depannya. "Para penyihir masih belum pernah mencoba eksperimen yang satu ini. Kalau berhasil, harusnya aku bisa lolos di babak pertama—atau bahkan bisa lebih dari itu. Dan, oh, ayolah, kenapa sulit sekali menyusun mantra yazamdalikuza dengan mantra hezajiheka agar bisa mengubah tulip menjadi manusia."

Jennie meletakkan setangkai tulip di atas batu. Dia mengarahkan ujung tongkat sihir pada bunga berwarna putih itu sembari berkata, "Aku akan coba. Kalau tadi, aku hanya pakai satu kelopak dan sekarang aku coba untuk menggunakan seluruhnya."

Dia memejamkan mata. Menggerakkan tongkat sihirnya hingga membentuk pola lingkaran di udara. Lantas, dia pun membaca mantra dengan bibir yang terbuka secara hati-hati, takut sekali akan kegagalan yang barangkali akan menjadi akhir dari perjuangannya kali ini. "Hezakayazalikuza!"

Jennie enggan membuka pelupuk mata. Dia sudah bertekad sebelum melafalkan mantra tersebut; jika eksperimennya gagal, maka dia akan berhenti untuk mencoba. Dia sudah pernah gagal di lima ratus tahun yang lalu, jadi tak terlalu berharap banyak ketika harus menjumpai kelopak bunga tulip putih yang masih utuh tanpa berubah di bagian-bagian tertentu.

Dengan menguatkan hati, dia pun mulai membuka pelupuk mata.

"Oh, tidak, ini ...." Jennie bangkit dari posisi duduknya. Dia membekap mulut tak percaya. "Astaga! Ini berhasil, bekerja dengan baik!"

Jennie melompat-lompat seperti penyihir kecil di pinggiran negeri Pixabay yang tengah berbahagia karena baru saja mendapat surat izin mengendarai sapu terbang.

Dia bahagia bisa melihat seorang bayi mungil dengan kulit putih pucat seperti bunga tulip yang diletakkannya tadi pada batu. Dia menyentuh hidung bayi tersebut. "Aku menangis hanya karena melihatmu lahir dari bunga tulip?" Dia menghapus bulir bening yang jatuh malu-malu dari ekor matanya. Dia mengecup kening bayi tersebut, kemudian bergerak untuk membawa bayi itu ke dalam gendongan. "Penduduk Pixabay akan berbahagia karena mereka akan segera memiliki generasi yang bersih sepertimu. Lihat, kulitmu putih sekali."

Jennie meraih daun-daun yang punya fungsi sebagai wadah cairan dari sumber mata air Pixabay. Dia menyuapi bayi itu dengan air. Tangannya tak tinggal diam. Dia mengelus rambut berwarna putih milik bayi tersebut dengan limpahan afeksi yang tumpah-ruah bagai air terjun Phozix, di bagian paling selatan negeri sihir.

"Kau seperti penyihir senior yang lupa untuk menggunakan mantra agar terlihat awet muda," ujar Jennie seraya menyentuh helai-helai rambut bayi tulipnya. "Akan aku ubah warna rambutmu setelah kau berubah menjadi lebih besar dari ini."

Jennie masih cukup punya hati untuk merawat bayi tersebut dengan penuh kasih sayang. Dia pandangi bayi tersebut sampai dua mata rasanya nyaris bosan menjadikan anak tulip itu sebagai objek pandangan di sore hari begini.

"Aku lupa memberimu nama," kata Jennie, "Yoongi, namamu Yoongi."

Dia bergerak untuk meletakkan bayi mungil yang masih bugil itu di atas batu melayang. Tulip putih melahirkan calon seorang penyihir laki-laki dengan bibit unggul. Dia harus berdecak takjub berkali-kali ketika tak sengaja menangkap pergerakan bayi bersurai putih yang tengah terlelap di sentral gubuknya.

Dia melipat tangan di depan dada. Kemudian berkata, "Aku harus minta ramuan untuk mempercepat pertumbuhan pada Hoseok." Dia menunduk, hendak mengecup puncak kepala bayi mungil, Yoongi. "Hei, Yongs, jangan nakal, oke? Aku harus pergi sebentar, kau di sini baik-baik bersama Kanan dan Kiri."

Jennie melangkah pergi, menjauhi keberadaan Yoongi yang masih tertidur pulas dengan mata setengah terbuka. Dia mengenakan jubah, tak lupa membawa sapu terbang dan sebuah buku yang diletakkan di dalam saku jubahnya.

Jennie sudah bilang sebelum-sebelumnya jika penemuan ajaib ini harus menjadi penemuan yang akan berguna bagi kehidupan di Pixabay pada tahun-tahun yang akan datang. Dia akan berusaha untuk menciptakan bakal penyihir yang lebih dari kata sempurna. Dia sudah ciptakan mantra, hanya tinggal menyempurnakan saja menggunakan ramuan dari Hoseok nanti.

Aroma roti tulip kuning yang baru saja dibuka dari kemasan langsung menyambut indra penciumannya kala memasuki kediaman Hoseok. Dia datang di waktu yang tepat, Hoseok sedang duduk-duduk manis di atas batu sembari menuangkan air. Dia tersenyum, lantas meletakkan sapu terbangnya pada pinggiran gubuk dan segera berjalan menemui Hoseok.

"Hob! Mau dong!"

Hoseok melirik keberadaan Jennie yang tiba-tiba saja muncul di atas batu paling besar. Ia lempar senyum manis untuk Jennie sebelum menyodorkan sepotong roti tulip ke arah wanita itu.

Jennie menerima pemberian Hoseok. Dia hirup aroma roti yang baru saja dibuka dari kemasannya itu dengan rakus. Aroma roti Pixabay selalu membuat dia seakan menjadi wanita paling tamak sedunia. Hei, astaga, roti Pixabay adalah roti terenak yang pernah Jennie konsumsi selama beratus-ratus tahun sebagai makanan pokok. Dia berani menjilat setetes air liur lalat kalau rasa roti Pixabay lebih dari sekadar buruk—karena dia sudah lebih dulu memastikan mengenai rasa roti Pixabay yang sangat enak, maka dari itu dia berani bertaruh seperti itu.

Jennie terperanjat ketika bagian lain dari neuron otaknya tiba-tiba berbicara tentang tujuan utama dia mau menginjakkan kaki di gubuk Hoseok yang kelewatan rapi. Dia mencuri sepotong roti tulip dari atas batu dan memasukkan makanan tersebut ke dalam saku.

"Hob, aku butuh ramuan untuk mempercepat proses pertumbuhan. Apa ada?" tanya Jennie sekonyong-konyong. Dia bertanya nyaris tanpa ada spasi-spasi kecil yang menjadi sekat di antara kata per katanya.

Alih-alih menjawab pertanyaan Jennie, Hoseok malah bangkit dari batu yang ia duduki dan berlalu pergi meninggalkan Jennie di tengah-tengah gubuk seorang diri. Hoseok biadab, kata Jennie lewat batin.

Dia mencuri sepotong roti lagi dari atas batu. Dia jadi punya niatan untuk meminta seluruh roti yang Hoseok miliki ketika teringat ada bayi mungil yang hidup di tengah-tengah Kanan dan Kiri.

"Kau harus berhenti mencuri rotiku kalau mau ramuan ini."

Jennie tersenyum lebar saat mendapati Hoseok sedang berjalan ke arahnya sembari membawa botol ramuan di salah satu tangan. Berwarna keunguan, terlihat ada beberapa gelembung kecil yang memenuhi ruang kosong di dalam botol tersebut. Jennie jadi berpikir bahwa selama ini Hoseok membuat ramuan untuk mempercepat proses pertumbuhan dari lendir siput dan air liur kuda. Campurannya homogen, jadi tidak terlihat dengan jelas berapa takaran yang pas untuk membuat ramuan tersebut.

"Terima kasih, Hobbie!" Dia bersorak gembira ketika dengan baik hati Hoseok mau memberinya sebotol ramuan secara cuma-cuma.

Para penyihir Pixabay tahu kalau Hoseok itu pelit, tapi pilih kasih. Hoseok hanya akan memberikan ramuannya secara cuma-cuma pada Jennie saja, catat itu baik-baik.

Hoseok menatap Jennie dengan kerutan bingung. "Kau ingin membuat apa, sih? Roti tulip dengan ukuran besar?"

"Ada deh, rahasia!"

Jika dipikir-pikir lagi, tebakan Hoseok boleh dicoba juga. Sepotong roti hasil curian yang ditetesi ramuan, barangkali bisa menjadi solusi terbaik agar dia tidak perlu repot-repot untuk membeli dan menghabiskan berbotol-botol ramuan sebagai barang yang akan dibarter dengan roti tulip hangat dari toko sebelah.

***
Tbc.

[✓] PythonissamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang