Hari yang cerah untuk hati Jennie yang sedang merekah.
Yoongi yang saat itu sedang menulis beberapa tambahan ke dalam eksperimen yang akan dilakukannya nanti—saat Jennie pergi—tanpa banyak bicara. Sebenarnya, sudah dua hari ia tidak banyak menyerukan permintaan tolong kepada Jennie, ia bertekad untuk belajar mandiri kendati di beberapa kesempatan, Kanan dan Kiri yang akan ambil peran menjadi guru dadakan. Tidak masalah, yang penting Jennie tahu kalau ia juga bisa mandiri seperti Hoseok.
Jennie mengikat rambutnya seperti ekor kuda. Dengan gerakan tungkai yang pelan menapak lantai kayu, dia menghampiri Yoongi yang sejak beberapa hari lalu terkesan sedikit aneh dan tampak—eungh, menjauh? Entahlah, dia sendiri tidak yakin akan hal itu.
"Pagi, Yoongs!" sapa Jennie seraya mengecup pelipis Yoongi.
Yoongi yang sudah terbiasa dengan tindakan Jennie pun hanya bergumam menanggapi. Awal-awal Jennie mengecup puncak kepala, pipi, atau salah satu pelipisnya di pagi hari, ia merasa kikuk dan gugup. Lebih-lebih ketika Jennie langsung duduk di hadapannya tanpa merasa bersalah atau canggung sedikit pun. Namun, semakin banyak hari-hari yang ia lewati bersama Jennie, ia sedikit banyak telah tahu bahwa sifat Jennie memang lembut dan setulus itu.
Jennie mengunyah roti tulip yang baru saja diambilnya dari atas permukaan daun. Sekilas, dia memperhatikan apa yang tengah jadi fokus utama Yoongi. Pria itu seakan tidak mau tahu akan kehadirannya saat ini. Tidak mau ambil pusing, dia lebih memilih untuk diam menikmati sarapannya pada pagi hari.
Jennie menjilat jempolnya setelah habiskan satu potong roti tulip. Dia melipat tangan di atas batu sembari menatap Yoongi lamat-lamat.
Yoongi merasa risi. Ia berdecak, lalu membalas tatapan Jennie tanpa minat.
Bibir Jennie seketika mencebik. "Ih! Kau ini kenapa? Auramu menyeramkan sekali, tahu." Jennie berargumen. Ya, walaupun sedari awal Yoongi terlahir di dunia wajah pria itu sudah tidak ada aura bagus-bagusnya sama sekali, tetapi memandangi Yoongi yang mengeluarkan ekspresi datar dari jarak sedekat ini membuat Jennie sedikit bergidik. Yoongi tampan, sangat malah. Namun, sekali lirik saja semua wanita di Pixabay akan mundur ketika disuguhkan tatapan mata Yoongi yang lebih-lebih dibanding pisau. Tajam sekali, sumpah.
"Aku? Kenapa?" Yoongi merespons singkat seperti biasa.
"Kau mulai membuatku kesal." Jennie menggeram dengan tangan terkepal.
"Oh."
Tuh, sudah Jennie bilang, Yoongi ini hemat sekali kalau berkata-kata. Namun, di beberapa kesempatan yang telah terlewati, Yoongi juga pernah cerewet melebihi penyihir senior wanita di ujung Pixabay. Gubuk wanita itu memang terletak di ujung, paling mewah di antara gubuk-gubuk di sekitarnya.
Oke, kembali pada tatapan Yoongi yang menyeramkan.
Jennie bangkit dari posisi duduknya. Dia meraih jubah yang tergeletak tak jauh dari batu tempat Yoongi bertumpu. Tanpa menoleh dan berkata apa-apa, Jennie telah siap untuk menarik kenop pintu dan segera melesat menuju gubuk Hoseok.
"Jun!"
Jennie seketika menoleh. "Apa?"
"Hati-hati."
Jennie terdiam.
Yoongi itu memang pria yang kaku, tertutup, tidak asik. Namun, jika ditelisik lebih jauh, Yoongi adalah pria paling manis—setelah Hoseok, tentu saja—yang Jennie pernah kenali. Yoongi selalu mengingatkannya untuk makan, melihat perkembangan sayembara, dan masih banyak lagi. Yoongi adalah alarm paling tampan di dunia ini, dia beruntung bisa memiliki Yoongi.
Jennie tersenyum, kemudian mengangguk singkat dan segera berlalu hingga sekat berserat kayu itu menelan tubuhnya secara sempurna.
***
Mentari tenggelam dari langit Pixabay kala itu. Jennie dan Hoseok yang sedang duduk-duduk di atas rumput belakang gubuk Hoseok tampak menikmati cara mentari membenamkan diri dari bumi. Romantis sekali, bukan?
Namun, di saat Jennie tengah nikmati sinar oranye menyiram epidermisnya secara intim, Hoseok tiba-tiba bersuara. Pria itu ingin mengajaknya menyusuri Pixabay dan duduk-duduk manis di tempat yang—konon katanya—memiliki simbol keabadian. Jennie sendiri tidak tahu alasan Hoseok tiba-tiba semakin lengket dengannya, dia hanya bisa bersyukur dalam hati seraya menikmati perlakuan Hoseok yang akan dia kenang sampai nanti.
Dan di sinilah dia dan Hoseok berada. Di atas sebuah jembatan yang tidak diketahui namanya—tapi para penyihir menyebut jembatan itu sebagai Jembatan Cinta. Terdengar ... menggelikan, tetapi memang begitulah cara penyihir menyebut jembatan gantung berwarna biru ini.
"Kau sudah menyerahkan catatan eksperimenmu ke pihak penyelenggara sayembara?"
Jennie mengalihkan pandangannya dari sungai besar di bawah jembatan. Dia tersenyum, lalu membalas, "Belum. Aku masih perlu menyalinnya—takut jika sewaktu-waktu kertas itu akan hilang."
Hoseok mengangguk paham.
Kini Jennie yang bertanya, "Kalau punyamu?"
"Eksperimenku bahkan belum selesai."
Jennie tidak terkejut. Hoseok adalah pria yang mencintai kesempurnaan, jadi dia tidak perlu kaget kalau eksperimen Hoseok masih dalam tahap penyempurnaan. Untuk hasil yang maksimal, Hoseok rela menggelontorkan waktu yang tak sedikit secara cuma-cuma. Hoseok gila, tetapi Jennie tetap cinta.
"Memangnya, eksperimenmu apa?" tanya Jennie, penasaran.
"Ramuan pengubah kepribadian." Hoseok menjawab sambil tersenyum manis.
Tolong, tolong, tolong kuatkan aku!
Jennie mengalihkan atensi dengan segera. Senyum Hoseok itu mematikan. Sekali liat, bisa membuat wanita langsung menggelepar seperti ikan di atas daratan. Kalau dua kali lihat, pasti langsung pingsan. Kalau tiga kali? Tentu, itu kategori ketagihan.
Jennie berdeham singkat. Dengan dua mata yang bergerak gelisah sembari menganut asas 'asal jangan lihat mata Hoseok', dia menyahut, "Terdengar keren. Kenapa masih belum membuat catatannya?"
"Kan aku sudah bilang, eksperimennya belum selesai, Jennie." Hoseok mencubit dua pipi Jennie dengan gemas.
Aduh, bahaya! Gawat, gawat!
Jennie memekik dalam hati. Dia mencebik guna menutupi kegugupannya saat ini.
Hoseok tersenyum tipis. Ia menurunkan dua tangan yang mencubit pipi Jennie dengan gerakan pelan.
Hening kembali meraja di antara mereka. Suara air sungai yang mengalir adalah satu-satunya vokal pengisi kesenyapan. Hingga pada akhirnya, Hoseok mulai buka suara.
"Yoongi pintar sekali, ya?" Ia tersenyum sekilas. "Kau berhasil menciptakan eksperimen paling menakjubkan yang pernah aku ketahui."
Jennie merasa tersanjung. "Ah, kau ini pandai sekali membuat orang salah tingkah!"
Hoseok terkekeh mendengar suara Jennie yang tertelan rona merah pada masing-masing pipi. "Hei, itu sungguhan. Kau hebat, tahu."
"Terserah, tapi terima kasih."
"Kau dapat inspirasi dari mana, sampai-sampai bisa menciptakan Yoongi?"
"Buku yang kau berikan, salah satunya." Jennie kembali mengingat saat-saat di mana Hoseok menyerahkan buku penuh sejarah dalam hidupnya sebagai seorang penyihir junior yang masih meraba dunia sihir Pixabay. Buku itu berhasil membuatnya bertemu dengan Yoongi.
"Kapan?" Hoseok mencoba mengingat. Bukan apa-apa, ia sudah banyak sekali memberikan Jennie buku-buku tebal untuk bahan bacaan wanita itu. Jadi, rasanya wajar saja saat sedikit melupakan beberapa bagian dalam otaknya yang terisi nama Jennie, Jennie, dan Jennie.
Jennie menjawab, "Dulu."
Hoseok tak menanggapi lebih lanjut. Ia mengarahkan Jennie pada pembicaraan lain. "Perkembangan Yoongi itu membutuhkan waktu yang lama?"
"Tidak, Yoongi cepat menyerap ilmu dari lingkungannya. Kau kan tahu sendiri kalau si Yoongi itu cerdasnya minta ampun."
Hoseok tersenyum sambil menggaruk tengkuk. "Iya juga, ya?"
***
Tbc.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Pythonissam
FanfictionPada tahun-tahun yang berguguran bersama daun berwarna oranye di Pixabay, Jennie Imogen yaitu seorang penyihir pemula hendak menciptakan sebuah mantra yang dapat mengubah kehidupan di negerinya. Jennie mengikuti sebuah sayembara yang diadakan setia...