"Yoongs, lihat jubahku, tidak?"
"Yoongs, lihat tongkat sihirku, tidak?"
"Yoongs, lihat—"
Jennie mendesah frustrasi. Dia mulai lelah melihat Yoongi yang terus-menerus menatap ke pintu halaman belakang yang terbuka lebar. Tidak tahu sedang mengamati apa pria itu, yang jelas, Yoongi bertahan dengan posisi serupa selama hampir tiga jam. Dia sedikit tidak habis pikir, sih. Namun juga bingung alasan yang mendasari sikap aneh Yoongi selama seminggu ini.
Pagi hari, biasanya Yoongi duduk di atas kursi sembari makan roti tulip, tapi akhir-akhir ini, Yoongi malah membawa roti tulip itu ke halaman belakang. Dia tidak berniat untuk mengikuti, karena dia pikir Yoongi pasti butuh privasi.
Sedangkan jika matahari mulai ditelan gelap, Yoongi biasanya duduk di pohon tumbang yang terletak di belakang halaman sambil memandangi warna langit yang terkadang ungu, merah, oranye, tak jarang juga warna biru tendensi gelap. Namun, alih-alih demikian, Yoongi malah membenamkan atensi pada setumpuk buku sampai malam.
Dia sadar, ada yang aneh dengan tingkah laku Yoongi, tetapi apa sebabnya? Atau pertanyaan yang dia lontarkan itu salah? Jangan-jangan, bukan 'apa' tapi 'siapa'? Bisa jadi.
Dia kehilangan cara untuk membuat Yoongi mau berbicara. Dia pun menghela napas, lantas menghampiri Yoongi dan menarik pria itu ke dalam dekapan. Dia menangis. Dia ingin Yoongi kembali menjadi Yoongi. Sakit sekali saat melihat perubahan Yoongi. Pria itu menjadi orang asing yang menyamar menjadi Yoongi kesayangannya. Dia memukul dada Yoongi dengan satu kepalan tangan.
"Aku benci kau! Aku benci!" Jennie meraung-raung seperti orang kesetanan. Namun, di mata Yoongi, Jennie begitu manis dan menggemaskan.
Salah satu tangan Yoongi hampir saja menyentuh puncak kepala Jennie. Namun, tekad yang kuat serta teriakan hati yang patah membuatnya urung melakukan tindakan konyol tersebut. Ia sudah jemu mendengar retakan-retakan pada hatinya yang mulai tak berbentuk.
"Minggir." Yoongi berkata tanpa bubuhkan tanda baca seru, ia hanya memberi intonasi datar.
Jennie semakin bergetar. Dia menangis dengan dua tangan merangkul pinggang Yoongi semakin erat. Dadanya sesak, dia tidak suka Yoongi yang berbeda.
"Hiks ... Yoongi, maafkan aku dong, kalau ... hiks, hiks, kalau aku punya salah."
Jennie mengecup dada Yoongi, berharap Yoongi luluh. Tetapi hingga suara Kanan dan Kiri yang entah sedang berkata apa telah hilang dari jangkau pendengaran, Yoongi tak kunjung ambil pergerakan. Astaga, Yoongi ini kenapa?
Sekarang Yoongi yang menghela napas. "Jennie, minggir."
Pertama kalinya dalam sejarah, Yoongi memanggil nama Jennie dengan benar. Alih-alih merasa senang karena namanya telah diucapkan secara tepat, Jennie malah semakin menangis tersedu-sedu. Dia mengusak kepala pada dada bidang Yoongi karena saking sesaknya. Dia tidak paham, apa yang saat ini tengah dia rasakan. Namun yang jelas, dia tidak suka diabaikan Yoongi, dia benci Yoongi yang diam.
"Kau ini tuli?"
Yoongi memaksa Jennie untuk melepas pelukan. Ia menyerah, lantas berdecak dan pasrah saja saat Jennie kembali terisak. Ia tidak membalas pelukan. Dua tangannya masih berada di tempat semula, yaitu di masing-masing samping tubuhnya. Terserah Jennie, dari awal semua memang terserah Jennie, 'kan?
Jennie menghentakkan kaki. Dia mendongak guna menatap manik mata Yoongi yang sedang mengarah ke depan, lurus sekali, tetapi pandangan kosong.
"Yoongs, aku salah, ya?"
Yoongi geming.
"Yoongs, apa aku sudah berbuat salah? Jawab dong!" Jennie mencium pipi Yoongi seperti biasa. "Aku tidak suka kau yang berbeda." Dia berkata lirih, masih dengan tatapan mata yang mengarah pada iris Yoongi.
"Kau memang tidak menyukaiku sedari awal, kok."
Jennie tidak bisa berkata-kata lagi. Dia langsung membenamkan diri pada dada Yoongi—yang ternyata nyaman sekali. Dia terisak kembali. Terserah apa kata Kanan dan Kiri yang asik mengoceh lagi di bawah sana, dia hanya perlu tutup telinga dan minta maaf sebanyak-banyaknya pada Yoongi.
"Yoongs, maaf, maaf, maaf." Dia cegukan. "Yoongs, hiks, jahat sekali sih. Maafkan aku, ya? Ya?"
Yoongi berjalan—dengan tubuh Jennie yang melekat seperti anak panda pada induknya. Ia tidak terlalu kerepotan karena badan Jennie memang sedikit lebih mungil dibanding badannya sendiri. Ia meraih salah satu buku, kemudian membacanya seperti tidak ada Jennie yang saat ini sudah ikut duduk. Jennie duduk di pangkuannya. Yoongi hampir salah fokus, tetapi serpihan hati yang masih berdarah-darah terus mendukungnya untuk melawan pesona Jennie.
Yoongi mendengar suara ketukan pintu di antara suara detak jantungnya yang berdebum dan suara isak tangis Jennie yang meraung-raung. Ia tidak usah menebak siapa gerangan yang bertamu di sore hari menjelang malam, sudah bisa diketahui, itu pasti Hoseok yang kata Jennie baik hati.
"Bangun, Hoseok datang," titah Yoongi dengan intonasi datar.
Jennie menelan isak. Dia mengusap air mata yang masih mengalir deras menggunakan punggung tangan secara paksa. Jejak-jejak air mata di sepasang pipinya masih terlihat jelas, tampak lembab melapisi epidermisnya yang pucat kemerahan; merona. Mau tak mau, dia segera berdiri dari pangkuan Yoongi dan melangkah meninggalkan pria kejam itu seorang diri.
Di ambang pintu, Hoseok mengamati Jennie yang terlihat kacau. Ia langsung mendekap wanita itu di ambang pintu tanpa berniat masuk lebih dahulu. Sedangkan Jennie, antara malu dan kalut sebab Yoongi masih belum memunculkan tanda-tanda damai sama sekali, harus rela berdiri lama-lama karena Hoseok tampak tak jemu mendekapnya di depan umum.
Hoseok melepas pelukan saat dirasa pundak Jennie tak lagi bergetar misterius seperti tadi. Ia membawa Jennie masuk dan segera mengunci pintu dari dalam. Ia tangkup wajah Jennie, lalu mengecup kening sang wanita dalam beberapa saat. Kemudian ia tersenyum menenangkan.
"Hey, ada apa?"
Jennie hanya menggeleng. Dia menuntun Hoseok agar duduk bersebelahan dengan Yoongi yang masih tampak tak peduli sama sekali.
Yoongi risi. Ia bangkit dari kursi, kemudian beranjak dari sisi Hoseok dan hadapan Jennie. Ia masih waras untuk tidak menumbalkan hatinya lagi demi memperhatikan adegan drama yang dipertontonkan cuma-cuma oleh Jennie dan Hoseok. Ia pergi membawa catatan eksperimennya ke halaman belakang gubuk, tak lupa dua kunang-kunang di telapak tangan sebagai sumber penerangan.
Di depan Hoseok, Jennie masih tampak sesekali terisak, meski tidak seperti tadi.
"Kenapa?" tanyanya sembari mengusap puncak kepala Jennie.
Jennie menggeleng, lagi. Dia berusaha mengalihkan topik pembicaraan. Bersikap baik-baik saja dengan berkata, "Bagaimana? Eksperimenmu sudah selesai?"
Hoseok tersenyum tipis. "Sudah, memangnya kenapa?"
"Ayo! Kumpulkan catatannya bersama-sama. Aku sudah lama ingin menyerahkan laporanku kepada pihak penyelenggara sayembara Pixabay, Hob." Jennie tertunduk lesu saat teringat Yoongi.
"Kau kenapa lagi?" Hoseok mengerut bingung. "Apa ada masalah?"
Jennie akhirnya mengangguk. "Iya. Yoongi menjauhiku, sepertinya."
"Memangnya, Yoongi bisa marah?" Hoseok penasaran.
Jennie menatap pintu menuju halaman belakang yang tertutup rapat. Dia mengalihkan pandangannya lagi kepada Hoseok. "Iya. Berkat ramuanmu, akhirnya dia bisa merasakan emosi. Terima kasih."
"Sama-sama," jawab Hoseok. "Apa Yoongi bisa ... berbohong?"
Jennie mengangguk. Dia teringat saat Yoongi menyembunyikan roti tulip jatah Kanan untuk diberikan kepada Kiri karena burung yang satu itu sudah dijahili oleh Kanan—Yoongi bilang, "Biar Kanan tahu rasa."
***
Di balik pintu, Yoongi mendengar pertanyaan Hoseok. Diam-diam ia berpikir banyak mengenai seluruh pertanyaan Hoseok yang selalu menjurus kepadanya.
"Ada apa dengan Hoseok?"
***
Tbc.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Pythonissam
FanfictionPada tahun-tahun yang berguguran bersama daun berwarna oranye di Pixabay, Jennie Imogen yaitu seorang penyihir pemula hendak menciptakan sebuah mantra yang dapat mengubah kehidupan di negerinya. Jennie mengikuti sebuah sayembara yang diadakan setia...