Ketika ditanya tentang perasaan, Jennie hanya mampu bersemu saja. Terutama apabila Hoseok yang bertanya—karena lelaki itu tidak tahu apa-apa tentang perasaannya yang menggebu-gebu hanya dipersembahkan teruntuk Hoseok, lelaki itu tak akan pernah tahu.
Jennie menggulung lengan jubahnya. Di belakang gubuk, dia mendudukkan diri di atas salah satu kursi.
Banyak yang Jennie pikirkan. Beberapa tentang sayembara yang tenggat waktu seleksinya tinggal beberapa minggu lagi, sedangkan dia belum memastikan Yoongi sudah sempurna atau masih butuh waktu untuk menyempurnakannya. Kadangkala juga, otaknya sedikit rusak hingga tak sengaja memikirkan Hoseok—walaupun presentase Hoseok di pikiran bisa dibilang ambil bagian tujuh puluh persen. Namun, tak jarang di bagian-bagian tertentu neuron otaknya yang masih berwarna putih polos, ada wajah Yoongi di sana.
Bicara soal Hoseok, kemarin sepulang dari pinggiran sungai Pixabay pria itu tiba-tiba memohon maaf tanpa sebab yang jelas. Tentu saja kejadian itu terjadi seusai fakta mengejutkan dari detak jantung Yoongi yang lebih-lebih dari sekadar tidak waras. Kembali pada Hoseok, pria itu mau berbincang lebih lama dari kemarin, tetapi ingin sekali mengunjungi gubuknya. Jadi, dengan pertimbangan secepat kilat, dia langsung tersenyum dan mengangguk—memperbolehkan Hoseok mengunjungi gubuk pada hari ini.
"Jun, maafkan aku."
Jennie melirik keberadaan Yoongi yang sedang menyandarkan punggung pada salah satu kayu yang berperan menjadi penyanggah gubuk. Dia tersenyum, lantas menyahut, "Untuk perasaanmu yang salah, hm?"
Yoongi mendekat. Ia berdiri tepat di depan Jennie yang sedang duduk-duduk manis. Ia berjongkok, menyejajarkan tubuh agar dapat memandang wajah Jennie sedikit lebih nyaman.
Jennie kalang kabut. Dia tidak pernah bisa menebak apa isi pikiran Yoongi kendatipun pria itu adalah ciptaannya.
Yoongi menggeleng. Kemudian bersua, "Bukan."
"Lalu? Minta maaf untuk apa?" Jennie kebingungan. Apa Yoongi telah membuat kesalahan besar sampai-sampai pria itu minta maaf sebegininya? Dia jadi tidak memiliki konklusi tepat untuk persoalan pelik Yoongi.
"Maaf karena aku tidak bisa berbuat apa-apa ketika jantung ini berdebar kencang."
Jennie mengubah tatapannya. Dia memandangi Yoongi lurus-lurus. Yoongi salah, dia tidak bisa mendukung walau pada nyatanya, sebuah perasaan cinta itu tidak pernah salah sebab cinta adalah rasa yang suci dan sakral. Dia menyentuh dua pundak Yoongi, masih dengan mata yang menatap lurus ke arah iris mata Yoongi.
"Dengar, Yoongs." Jennie beri aksentuasi pada setiap pelafalan. "Aku tidak mengizinkanmu untuk jatuh cinta padaku. Namun, jika kau masih bersikukuh untuk mempertahankan perasaan itu, silakan."
Yoongi mengangkat dua sudut bibirnya ke atas sembari menarik dua telapak Jennie ke dalam genggaman. "Terima—"
"Tapi, jangan harap aku akan membalasnya. Rasaku ini hanya untuk Hoseok, bukan kau, atau bahkan orang lain sekali pun."
Jennie bangkit dari posisi duduk. Dia meninggalkan Yoongi seorang diri di belakang gubuk pribadi.
Dan Jennie menorehkan luka pada permukaan hati Yoongi sekali lagi.
***
Kanan dan Kiri hanya memandang Jennie yang sedang berlalu-lalang tanpa tahu tujuan wanita itu berlaku demikian. Sebenarnya ingin bertanya, tetapi mereka yakin betul kalau Jennie tidak akan pernah mengerti apa yang mereka tengah ucapkan.
Jennie berjalan dari arah kanan ke kiri, kemudian dari kiri ke kanan. Terus-menerus seperti itu sampai pada suatu ketika, ketukan pada pintu gubuk membuat jantungnya berdegup kencang.
"Pasti itu Hoseok," ujar Jennie teruntuk Kanan dan Kiri yang tampak setengah peduli.
Jennie bergegas menghampiri pintu, lalu menghela napas panjang sebelum akhirnya menarik kenop hingga kayu berbentuk persegi panjang dengan ujung setengah lingkaran di bagian atasnya itu pun terbuka. Jennie melihat Hoseok di sana. Dengan tatanan rambut seperti biasa, jubah yang disampirkan pada perpotongan siku, serta sapu terbang di genggaman tangan sebelah kanan. Dia tersenyum, membuka pintu semakin lebar agar Hoseok segera masuk ke dalam.
"Haus?" tanya Jennie sembari menggulung rambut, dia kepanasan. "Duduk dulu."
Hoseok lantas menyongsong senyum lebar sembari memberi anggukan. Ia perhatikan Jennie yang langsung bergegas ambil potongan bambu berisi air—ia yakin kalau Jennie mengambil air itu ada sumber mata air Pixabay—untuknya. Ia menerima uluran bambu tersebut tatkala Jennie telah berdiri menjulang di hadapannya.
Hoseok meletakkan bambu tersebut ke atas permukaan batu setelah lebih dulu menenggak tiga perempat isinya. Lagi-lagi ia tersenyum. "Kalau begini, kita seperti Tuan dan Nyonya Gren."
Mendengar hal itu, Jennie seketika terdiam dengan pipi yang telah merona merah. Hei, ini reaksi yang wajar kalau disangkutpautkan dengan Tuan dan Nyonya Gren yang Hoseok singgung dalam pernyataannya. Tuan dan Nyonya Gren adalah keluarga salah satu penyihir yang masih memproduksi roti tulip di Pixabay dengan resep turun-temurun. Mereka berdua dikenal sebagai pasangan yang harmonis dan serasi.
Jennie memilih untuk menggigit dua pipi bagian dalamnya agar tidak tersenyum saat Hoseok masih loyal menatapnya. Dia memutuskan untuk duduk di depan Hoseok sembari menatap iris mata lelaki itu lurus-lurus. Dia menyelipkan anak rambut yang masih badung berada di sisi-sisi dahinya kendati rambut yang lain telah dia gulung.
Hoseok menangkap kecanggungan. Atau barangkali, hanya ia yang merasakan itu di sini?
"Lho, kau di sini juga?"
Dengan gerakan otomatis, Jennie langsung mengalihkan pandangannya pada apa yang sedang jadi topik pertanyaan Hoseok. Tak jauh dari tempatnya duduk, Yoongi berdiri di sana sembari menatap ke arah Hoseok dengan pandangan sengit. Oh, jangan mulai, dia tidak mau Hoseok dan Yoongi bertengkar.
Jennie mengalihkan atensi lagi kepada Hoseok. Dia mengulas senyum tipis, lalu menjawab, "Tentu saja, dia itu ciptaanku kalau saja kau mulai amnesia, Hob."
"Oh, iya!" Hoseok setengah berteriak. "Benar juga. Maaf, aku sedikit lupa."
"Tidak masalah." Jennie mulai memfokuskan diri pada keberadaan Hoseok. "Omong-omong, kau mau bicara soal apa? Tumben sekali sampai mau repot-repot kemari."
"Aku kemari ingin meminta maaf, lagi."
Jennie terkekeh. "Hei, aku sudah memaafkanmu. Lagipula, untuk apa minta maaf begini, hm?"
Sejenak Hoseok terdiam. Ia tatap wajah Jennie yang selalu berseri-seri ketika tengah berbincang. "Aku tak sengaja melirik kehadiranmu di ambang pintu gubukku saat itu. Kurasa, aku perlu meminta maaf sebab matamu harus ternoda oleh adegan ciumanku dengan Alisha."
Jennie meraih salah satu tangan Hoseok untuk digenggam. Dia menepuk permukaan tangan Hoseok sebanyak dua kali sebelum itu—bermaksud untuk menenangkan Hoseok lebih dahulu.
"Tidak apa. Aku tahu, kau membutuhkan sesuatu dari Alisha. Kau tidak akan mencium seorang wanita tanpa alasan yang jelas, 'kan?"
Hoseok mengangguk. "Aku membutuhkan salah satu ramuan Alisha untuk kemudian mengombinasikannya dengan salah satu ramuan terbaru milikku."
Jennie tersenyum menanggapi Hoseok. "Aku percaya padamu, Hob."
Sedangkan di sentral gubuk, Yoongi masih memperhatikan cara Jennie dan Hoseok berinteraksi. Raut wajah Jennie yang begitu kentara sekali menggambarkan gurat kebahagiaan ketika Hoseok berbicara atau hanya sekadar tersenyum adalah pisau paling tajam yang mampu menyayat-nyayat relung hatinya. Ia tidak pernah merasa sakit, walau Kanan atau Kiri mematuk dahinya ketika sedang terlelap. Baru kali ini, ia benar-benar merasa retak di beberapa bagian dalam definisi paling cantik dari sebuah perasaan. Kalau tahu nasibnya akan begini, Yoongi tak akan pernah mau menuruti Jennie untuk meminum ramuan kepekaan dari Hoseok.
***
Tbc.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Pythonissam
FanfictionPada tahun-tahun yang berguguran bersama daun berwarna oranye di Pixabay, Jennie Imogen yaitu seorang penyihir pemula hendak menciptakan sebuah mantra yang dapat mengubah kehidupan di negerinya. Jennie mengikuti sebuah sayembara yang diadakan setia...