19

135 22 3
                                    

"Yoongs, kau mau ke mana?"

Ada kabar baik yang merangkak di pagi hari beberapa waktu lalu. Jennie hampir pingsan—ini hiperbolis, tapi nyata—saat Yoongi mau mengajaknya bicara lagi. Yoongi bahkan sudah mau berlama-lama duduk bersama di halaman belakang seperti dahulu. Dia senang Yoongi-nya telah kembali. Entah kenapa, semenjak saat itu ketika Yoongi hendak pergi tanpa berkata apa-apa dia akan begitu panik dan resah. Dia takut Yoongi kembali ke gubuk dengan sikap yang tak tersentuh lagi, dan baginya itu adalah mimpi buruk.

Yoongi menoleh dengan mengukir senyum khasnya. "Ke rumahku."

Jennie bangkit dari batu melayang yang sudah lebih dulu dia hentikan pergerakannya. Dia menautkan tangan pada telapak Yoongi, mendongak menatap manik mata pria itu lekat-lekat sebelum berujar, "Aku mau ikut."

Yoongi tidak menolak. Alih-alih menitah Jennie agar tetap diam di gubuknya sendiri, ia malah mengusap puncak kepala Jennie dan menarik genggaman tangannya supaya langkah Jennie bisa sejajar dengan langkah miliknya.

Sesampainya di rumah Yoongi, tak banyak yang jadi topik pembicaraan. Jennie hanya diam, pun begitu pula yang Yoongi lakukan. Terkadang, diam adalah cara terbaik untuk menyampaikan perasaan. Emosi yang menggebu-gebu tiap kali bertatapan mata entah itu hitung pandang pertama, kedua, dan seterusnya tetap Jennie coba rasakan betul-betul. Dia merasa aneh, ada yang salah dari cara kerja hatinya ketika menatap Yoongi yang diam tanpa melakukan apa-apa.

Kunang-kunang yang terbang di atap lantas seakan menjelma menjadi konstelasi pribadi milik Yoongi dan Jennie. Mereka punya semesta untuk digenggam berdua. Hanya mereka yang paham bagaimana cara frasa, morfem, dan alomorf yang menunggal satu membentuk sebuah alinea penuh curahan afeksi tak terhingga dengan didominasi bisu dan sunyi. Cukup rasa dan tatapan mata yang merajut konversasi di penghujung bulan. Cukup kedip mata yang berbicara kala bibir tak lagi dapat menyampaikan untaian kata. Yoongi selalu ada di semenjana otaknya yang terkadang gelap, Yoongi di sana tersisip baik-baik menjadi penerang di kala gulita. Hingga pada detik-detik yang bergerak lambat pada pertemuannya dan Yoongi, Jennie tersadar bahwa dia mencintai Yoongi lebih dari sekadar seorang pencipta dan eksperimennya.

Jennie mencintai Yoongi seperti Yoongi mencintainya.

Dia tidak tahu, itu adalah sebuah kesalahan atau bukan. Mencintai dua orang dalam rentang waktu yang berbeda serta intensitas temu yang lain pula membuat dia jadi serba salah. Yoongi pernah bilang kalau cinta itu suci. Tidak ada yang salah dengan yang namanya emosi bernama cinta.

Bisu masih meraja, Yoongi dan Jennie masih saling adu tatap mata.

Yoongi menghapus jarak. Spasi yang jadi distansi antara ia dan Jennie segera dihapuskan. Tidak ada yang mendorong perasaannya untuk segera mencium Jennie dengan gerakan lembut, ia hanya mengikuti insting dan barangkali juga kehendak hati yang tiba-tiba berteriak, menitah dengan otoriter perihal ciuman di bibir. Ia pernah melihat Jennie dan Hoseok berciuman di tengah gubuk, jadi ia rasa tidak salah untuk mencoba pada bibir yang sama.

Jennie tersentak ketika Yoongi tiba-tiba menyentuh tengkuknya dan sepersekian sekon berselang bibir Yoongi yang selalu berwarna merah muda dan jarang sekali mengukir senyum itu tiba-tiba sudah menutup akses vokalnya tersua samar-samar sebagai bentuk penolakan. Awalnya sulit menerima ciuman Yoongi sebab dia masih begitu mengagung-agungkan bibir Hoseok, tetapi setelah Yoongi meyakinkan dengan sepenuh hati yang lagi-lagi lewat sunyi sebagi teman sehidup semati, dia mulai mengikuti alur permainan bibir Yoongi yang terkesan amatir, tetapi di beberapa kesempatan sialan sekali bibir itu membekap tanpa ampun. Yoongi punya ciuman yang hebat, dia hampir gila rasa-rasanya kalau sambil membayangkan Yoongi tersenyum di atas bibir—

Oke, hentikan penjabaran sialan itu, Jennie tidak mau mengumbar cara Yoongi memagut bibirnya, cukup rahasia antara dia dan Yoongi saja.

Jennie kehabisan napas, dia memukul pelan dada Yoongi agar pria itu melepaskan ciuman. Setelah berusaha keras, akhirnya Yoongi patuh dan melepas tautan bibir tersebut.

Yoongi menyatukan keningnya dengan kening Jennie. Ia singkirkan surai rambut Jennie menuju belakang daun telinga wanita itu. Napasnya memburu. Ia seperti bakar habis-habisan, keringat bercucuran. Terkesan lemah hanya karena sebuah ciuman di saat Hoseok mampu berdiri mencium Jennie berjam-jam, tetapi Yoongi tak pernah memaksakan kehendak jika Jennie meminta berhenti seperti tadi, beda dengan Hoseok yang terus-menerus menjejali Jennie ciuman bertubi-tubi sampai wajah wanita itu terkadang memerah karena nyaris kehabisan napas.

Jennie tidak tahu ciuman tadi adalah sebuah kesalahan atau justru sebuah kesempatan untuk memastikan validitas yang sempat dia kerekau dari lubuk hatinya. Dan setelah ciuman yang cukup singkat tadi bersama Yoongi, dia tahu bahwa perasaannya yang begitu menyala-nyala kepada Hoseok hanyalah sebuah ketertarikan semata, hanya karena dia sangat mengagumi Hoseok sampai ke tulang rusuk, sampai ubun-ubun, sekadar kagum dan tidak lebih. Sayangnya, dia terlambat menyadari.

Namun, bukankah lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali?

"Jun, maaf sudah menciummu."

Jennie ukir sebuah senyum. Dia tarik kening dari persatuan, lantas menatap Yoongi dalam-dalam sambil merasakan deru napas pria itu yang menerpa halus-halus. Dia mengangguk kecil, lantas berkata, "Terima kasih karena sudah menciumku." Dia bisa lihat guratan dengan sebuah tanda tanya bertengger di atas kepala Yoongi. Tanpa menjawab tanya implisit dari raut wajah Yoongi, dia tiba-tiba berujar, "Maaf, aku harus ke gubuk Hoseok. Aku mau mengakui sesuatu padanya."

Jennie pun pergi, lagi-lagi meninggalkan Yoongi seorang diri.

***

"Kau jarang mengunjungiku akhir-akhir ini."

Hoseok tersenyum manis, kemudian ia kembali mengecup leher yang sejak tadi jadi media karya dari bibirnya. Secarik warna merah keunguan jadi penanda kepemilikan di sana. Bangga karena bisa memiliki pasangan paling tercantik di Pixabay, bangga juga karena bisa punya lain dan diizinkan untuk pura-pura mencintai yang lain.

Hoseok menjawab, "Kau kan tahu, aku sedang mendekati Jennie untuk mengetahui bahan di balik eksperimen mengejutkannya, Sayang." Ia mengecup leher wanita itu sekali lagi.

Alisha bergerak gelisah di atas pangkuan Hoseok. "Tapi tetap saja aku cemburu!"

"Hey, tapi cintaku hanya untukmu, Sayang," ujar Hoseok, menenangkan. "Lebih-lebih lagi, aku hanya memperalat Jennie, kok. Masa aku mau merelakanmu hanya untuk seorang Jennie? Dia bahkan hanya seorang penyihir junior." Alisha tertawa bersama Hoseok setelah kalimat tadi dilantunkan tanpa rasa bersalah sama sekali.

"Penyihir junior yang eksperimennya sedang kau incar-incar rahasia krusialnya, ya?"

Alisha langsung turun dari pangkuan Hoseok. Ia bergerak mundur, berusaha bersembunyi di balik punggung Hoseok yang saat ini juga tengah berdiri menatap kehadiran Jennie yang tiba-tiba hadir tanpa timbulkan suara derit pintu sama sekali.

Jennie menghapus air matanya yang turun beberapa kali pada salah satu sudut mata. Dia menatap Hoseok yang terlihat acak-acakan, sedangkan Alisha sudah tidak tahu bentuknya seperti apa. Tidak peduli. Dia maju selangkah, menghampiri Hoseok untuk sedikit memberi salam perpisahan. Hatinya sudah mantap untuk meninggalkan pria itu. Alasan yang mendasari juga cukup kuat. Pertama, dia tidak mencintai Hoseok secara leksikal. Dan yang kedua, Hoseok bejat. Dia tolol sudah memercayai kepolosan Hoseok yang dibuat-buat, dia imbesil sudah mau-mau saja diperalat emosi yang mengatasnamakan cinta padahal buka. Begitu sebenarnya. Dia menangis karena merasa bodoh, bukan karena sakit ketika tahu Hoseok mencintai Alisha sedalam itu.

Dia menampar Hoseok sekali telak. Suara tamparannya menggema jika dihiperbolakan. Alisha terkejut di belakang tubuh Hoseok sambil menutup mulut tak percaya.

Wajah Jennie memerah. Aliran darahnya mendidih. Jennie marah, kecewa, dan sedikit ada rasa syukur yang terselip sedikit-sedikit dalam dukanya. Dia lantas mengibarkan senyum tanpa menunjukkan patahan-patahan sepele pada hatinya yang sudah lama diberi penamaan Hoseok, kendati hati itu sesungguhnya tak punya nama sama sekali.

Jennie mengambil langkah mundur. Setelah tubuhnya berada di ambang pintu dengan salah satu tangan yang sudah siap menutup kenop dan hilang dari ruang yang terasa menghimpit sampai-sampai rasanya dia tidak bisa bernapas, dia pun berujar, "Hubungan konyol ini sampai di sini saja. Terima kasih untuk Alisha karena sudah mau menunjukkan bahwa Hoseok benar-benar tidak layak untuk aku sandingkan dengan Yoongi."

Hoseok mengusap pipinya yang terasa panas dan sedikit berkedut di beberapa kesempatan. Ia tatap sekat kayu yang baru saja menelan Jennie hingga presensi wanita itu tidak ada lagi. "Sialan!"

***
Tbc.

[✓] PythonissamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang