"Tadi aku lihat ada—"
"Lihat, apa?" Jennie memungkas cepat. Tubuhnya tidak berputar menghadap ke arah Yoongi, sebab dia sendiri sedang fokus pada lembaran buku kumpulan mantra orisinilnya.
Yoongi mendengkus lirih. Ia menyahut, "Tupai bicara. Omong-omong, itu wajar atau tidak?"
"Tidak," jawab Jennie sembari menutup bukunya. Dia menghampiri Yoongi yang tengah memberi makan Kanan dan Kiri sembari berjongkok memunggunginya. Dia menepuk pelan salah satu pundak pria bersurai putih tersebut, lantas berkata, "Penemuan baru tahun ini, barangkali. Itu sainganmu, lho."
"Oh."
Jennie tidak perlu berteriak atau sekadar merotasikan dua bola mata dengan perasaan jengkel ketika mendapat respons singkat dari si Irit Bicara, Yoongi.
Hari ini adalah hari ke lima belas setelah Yoongi lahir dari setangkai bunga tulip berwarna putih segar yang dipetik dari salah satu pinggiran sungai Pixabay. Sejauh ini, Yoongi sudah banyak menguasai mantra-mantra dasar. Kemampuan Yoongi yang dapat memahami suatu ajaran dengan cepat adalah kelebihan yang dimiliki oleh seorang anak yang tercipta dari sekuntum bunga. Tidak hanya itu, Yoongi juga punya paras yang lebih-lebih dari sekadar tampan, ia punya hati yang baik, kendati acap kali bersikap menjengkelkan.
"Yoongs," panggilnya.
Yoongi menolehkan kepala. Ia menatap keberadaan Jennie yang sudah duduk manis sembari mengayunkan kaki di sampingnya. Ia tak menyahut, tetapi Yoongi tahu kalau Jennie akan melanjutkan kalimat tanpa harus menunggu sebuah jawaban terlontar dari bibirnya.
Jennie semakin menundukkan kepala, menatap kaki-kakinya yang saling berlomba mengayunkan diri di bawah sana. Dia melukis senyum tipis sebelum menghela napas panjang-panjang. Dia melirik Yoongi melalui ekor mata seraya melanjutkan, "Terima kasih telah lahir di dunia, Yoongs. Kau membantuku untuk meraih gelar senior sebagai seorang penyihir di Pixabay."
"Belum tentu."
"Ih!" Jennie memukul lengan Yoongi. Dia mengerut kesal. Yoongi itu tidak tahu, apa? Dia ini sedang membangun suasana untuk mengembalikan keadaan hatinya yang sudah patah-patah sejak beberapa hari lalu karena ulah Hoseok.
Dia menatap wajah Yoongi dengan menyatukan kedua alis. Raut jengkelnya dia cetak secara gamblang, berharap Yoongi sedikit punya rasa takut. Sepersekian detik terlewati tanpa perubahan apa-apa dari air muka Yoongi yang minim sekali, Jennie menyerah. Yoongi tidak punya rasa takut sama sekali. Dia jadi punya sebuah tanda tanya besar yang timbul tiba-tiba dari balik kuriositas kunonya. Apa Yoongi tidak bisa merasakan apa-apa karena pria itu terlahir dari rahim sekuntum bunga?
Yoongi menepuk puncak kepala Jennie sebanyak dua kali. Ia tersenyum kecil. "Jangan terlalu berharap denganku. Masih banyak penyihir yang memiliki kekuatan di atasmu, Jun."
Jennie menyingkirkan tangan Yoongi yang bertengger di atas kepalanya. "Kau pernah kupukul? Atau pernah kucubit?" Dia bertanya, mengabaikan perkataan Yoongi yang lebih awal terlanting dibanding pertanyaannya sendiri.
Yoongi terdiam. Hingga pada detik-detik yang berbicara secara tersirat dari ranting pohon yang jatuh di bagian depan gubuk, pria itu menyahut, "Pernah. Kau baru saja memukul lenganku, kalau saja kau mulai amnesia."
Jennie cuaikan ucapan sarkas yang baru saja Yoongi lontarkan ke udara dengan intonasi setengah malas. "Kau merasakan sesuatu setelah kupukul?"
"Euhm—" Yoongi menimang jawaban, lalu mengangkat dua pundak. "Entah. Aku tidak paham."
Jennie memutar posisi tubuh agar sepenuhnya menatap Yoongi yang masih loyal sodorkan remah-remah roti tulip ke dalam mulut Kanan dan Kiri. Dia menepuk paha pria tersebut, hendak merebut sedikit saja atensi yang barangkali masih tersisa tetes-tetesnya di sana.
Yoongi melirik kilat, lalu kembali meneruskan aktivitasnya.
"Yoongs, kau harus merasakan sesuatu. Ketika ada suatu kejadian atau hal yang membahagiakan, kau harus tertawa." Jennie berujar penuh keseriusan. "Kalau aku memukulmu, mencubitmu, menjambak rambutmu, atau apa saja yang terjadi dalam bentuk kekerasan, kau harus merasakan sakit."
Salah satu alis Yoongi menukik disusul sebuah tanya, "Kenapa?"
Jennie selami netra kembar Yoongi yang berpendar samar tatkala tertimpa sinar matahari. Ada banyak hal yang menjadi ketakutannya tahun ini. Dia hanya ingin sebuah eksperimen yang sederhana, tetapi punya andil besar terhadap kejayaan Pixabay. Dia ingin penemuan yang sempurna. Namun, ketika satu Yoongi saja tidak bisa merasakan perasaan apa-apa, bukankah dua atau bahkan seribu Yoongi diciptakan ke dunia akan sama saja cacatnya?
"Kalau aku ingin melindungi seseorang dan membuatnya selalu tertawa, itu namanya apa?"
Pikiran Jennie mengenai probabilitas negatif akan keberadaan seribu Yoongi seketika berceceran di atas lantai. Dia tersentak kecil, tetapi tak urung tetap menanggapi Yoongi. Sejenak memikirkan jawaban yang pas untuk diucapkan sebagai sebuah respons dari pertanyaan Yoongi.
Yoongi meniup kelopak mata Jennie yang tidak berkedip selama beberapa detik. Mata Jennie bisa saja kehabisan oksigen kalau tidak bergerak ke bawah. Ia benar, 'kan?
"Ah?" Jennie mengedip. Dia menyelipkan beberapa anak rambut yang memenjara wajahnya di samping kanan dan kiri. "Tidak tahu, tapi kurasa, itu cinta. Karena aku berlaku begitu kepada Hoseok." Jennie mengalihkan pandangan menuju pagar kayu gubuknya yang berkroma cokelat dengan serat-serat pohon yang masih tercetak jelas di tiap permukaan. Dia melanjutkan, "Aku selalu ingin ada di sampingnya. Ingin mencurahkan seluruh afeksi yang bisa kuberikan hanya kepada Hoseok saja. Aku mau menjadi tameng ketika Hoseok butuh perlindungan, walau pria itu tidak pernah kelihatan lemah barang sedetik saja. Dan aku sadar, aku mencintai Hoseok dalam konotasi yang paling sialan, sebab aku tak pernah mengharapkan perasaan ini mendapat balasan apa-apa dari Hoseok." Jennie mengakhirinya dengan sebuah senyum kecil yang hanya punya beberapa sekon saja untuk bertahan, kemudian senyum tersebut meluruh bersama setetes likuid transparan yang keluar dari beranda mata kembar.
Yoongi meletakkan daun yang menjadi tempat remah-remah roti tulip milik Kanan dan Kiri tepat di samping tubuhnya. Tak perlu berpikir ulang untuk mendekatkan diri kepada eksistensi Jennie yang punggungnya telah produksi getar-getar kecil dengan isak yang ditahan-tahan dalam pita suara. Ia mendekap Jennie sembari terus mengusap punggung wanita itu yang terasa rapuh walau hanya bisa diterka-terka saja. Jennie sisipkan kesakitan secara implisit dari seluruh kata-kata yang terlontar tadi, ia hanya tahu tentang itu. Jennie adalah wanita kuat yang enggan ditatap rendah karena lemah, argumentasi paling mutlak yang bisa ia tarik dari beberapa pecahan-pecahan hati wanita itu yang berserakan di atas rumput. Jennie mencoba untuk kuat, kendati tulang-belulangnya telah remuk di beberapa bagian yang tersembunyi.
Yoongi berbisik, "Tidak masalah, kau boleh menciptakan banjir—maaf, maksudku kau boleh menangis, Jun."
Jennie meletakkan tangisnya pada dada bidang Yoongi yang tertutup pakaian berwarna putih. Dia hirup aroma autentik Yoongi yang terkadang dominan berbau keringat pria itu sendiri. Namun, sungguh, aroma Yoongi lebih-lebih dari apa yang dia pernah bayangkan. Aroma Yoongi berbeda. Peluh pria itu terasa basah di bagian dahinya karena dengan sengaja dia menempelkan kulit dahi di bagian dada Yoongi yang berkeringat.
"Aku akan berusaha menjadi penyihir normal, Jun," ujar Yoongi, bersungguh-sungguh. "Aku akan menjadi eksperimen paling sempurna tahun ini—bahkan akan bertahan untuk tahun-tahun berikutnya."
Yoongi eratkan dua tangan yang melilit pinggang Jennie dengan posesif. Ia kembali bersuara, "Hanya untukmu, aku akan lakukan apa saja. Aku berjanji."
***
Tbc.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Pythonissam
FanfictionPada tahun-tahun yang berguguran bersama daun berwarna oranye di Pixabay, Jennie Imogen yaitu seorang penyihir pemula hendak menciptakan sebuah mantra yang dapat mengubah kehidupan di negerinya. Jennie mengikuti sebuah sayembara yang diadakan setia...