Rencana ke sekolah harus gagal total, karena kedatangan keluarga Mas Dimas. Tidak lupa bersama dengan wanita durjana yang bernama Milda. Mereka memasang ekspresi canggung saat aku membuka pintu.
"Assalamualaikum, Nak Laila."
"Wa–waalaikumussalam." Aku menjawab salam dari Ibu Mas Dimas dengan kaku.
Kupersilakan mereka masuk dengan senyuman. Berbeda dengan rasa hati ini yang sakit karena belum siap menghadapi kenyataan. Mas Dimas pun melirikku sekilas. Namun, aku memilih abai dan pergi ke dapur untuk menyiapkan minuman.
"Ada apa? Kenapa ke sini?" Mama bertanya saat aku mengeluarkan minuman.
"Kami hanya ingin bersilahturahmi."
Dalam hati aku tertawa. Silaturahmi macam apa? Palingan mereka ingin membicarakan cela yang telah dilakukan anaknya.
Sekuat hati, aku mencoba duduk di hadapan mereka. Semoga pertahananku kali ini lebih kuat dari kemarin. Semoga tidak ada air mata hari ini. Semoga hubunganku dengan Mas Dimas selesai dengan baik-baik. Masih ada semoga lain yang kulantunkan dalam hati.
"Kami mau meminta maaf atas perbuatan Dimas yang telah mengecewakan Laila," ujar Ibu Mas Dimas.
Wanita paruh baya itu terlihat sedih. Kantung matanya yang menghitam pun menjadi bukti nyata argumenku tadi. Dapat kutengok air mata yang mulai menggenang di netra rentanya. Calon mertuaku ini memang sudah kuanggap ibu kandung sendiri. Kami kerap kali menghabiskan waktu hanya untuk berbincang hangat. Itu dulu, sebelum badai mengguncang hubunganku dan Mas Dimas.
"Sebagian besar persiapan pernikahan sudah dipesan. Kami tidak ingin pernikahan ini batal. Laila adalah calon menantu yang kami harapkan bukan wanita itu."
Sorot mata tajam diperlihatkan Ibu Mas Dimas pada Milda. Wanita muda itu tidak berekspresi sama sekali. Ia diam dengan tatapan yang menuju ke arahku. Tanpa kata, aku bisa merasakan aura bendera perang yang diam-diam mulai ia kibarkan.
"Lantas apa maksudnya? Saya sebagai orang tua ingin yang terbaik untuk Laila. Jika anak saya menjadi yang kedua, maka lebih baik saya membatalkan rencana pernikahan." Mama berujar tenang.
Mas Dimas melirikku sekilas lantas berdehem. "Bukan seperti itu yang saya maksud, Tante—"
"Saya sedang berbicara dengan ibumu, Dim! Jadi harap jangan sela pembicaraan kami." Mama memotong ucapan Mas Dimas.
"Begini, kami sudah sepakat bahwa Dimas akan menceraikan Milda setelah anak itu lahir. Mereka berdua juga sudah sepakat tidak memperpanjang masalah. Setelah bayi itu lahir, Dimas dan Laila akan melakukan pernikahan. Jadi, tidak ada yang menjadi kedua."
Penjelasan dari Ibu Mas Dimas membuatku bimbang. Namun tanpa diduga, Milda berdiri dari duduknya. Wanita itu mengelus perut yang sudah menyembul dengan tawa membahana.
"Hanya Dimas yang setuju. Saya tidak setuju. Wanita mana yang ingin punya anak tanpa suami? Tidak ada!" ujar Milda penuh penekanan.
Sorot mata Milda kini menghunjam mataku. "Bisa kita bicara berdua sebagai sesama wanita?"
Ini tantangan dan aku hanya bisa mengangguk. Tidak ada rasa takut di hati. Jika hari ini emosiku tidak terkendali, maka kupastikan Milda tidak bisa melihat dunia ini lagi.
Sorot mata Mas Dimas seakan menyuruhku untuk tetap diam di sini. Namun, aku abai. Aku curiga dengan wanita ini.
Di taman kami saling berdiri berhadapan. Milda mengangkat sebelah alisnya dan tertawa. Tidak ada lelucon di sini dan ia tertawa? Apa wanita ini gila?
"Katakan padaku, wanita mana yang ingin memiliki anak tanpa suami? Apa sepertimu yang tidak memiliki ayah?!" tanya Milda dengan nada mengejek.
Tanganku mengepal kuat. Tidak bisa dielakkan emosiku langsung meninggi karena mendengar pertanyaannya. Aku selalu sensitif saat membahas apa pun berkaitan dengan ayah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bangkai Kekasihku (Completed) [TERBIT]
EspiritualAwal mula kukira hubungan yang lama terjalin, maka akan kuat pula pondasinya. Pondasi suatu hubungan selalu yang pertama adalah kepercayaan, bukan? Aku menerapkannya pada hubungan kami meski pernah dikhianati sekali. Namun, anganku untuk membangun m...