Pagi buta di hari Selasa, Mas Dimas telah berada di halaman dengan mobilnya. Tanpa tahu malu saat aku membuka pintu, lelaki itu tersenyum bahagia.
Aku tidak memedulikannya dan langsung melenggang pergi. Namun baru beberapa langkah, ia menghadang jalanku. Tubuhnya yang lebih tinggi sukses menghentikan langkah ini.
"Ada apa? Apa belum jelas kemarin?" tanyaku dengan mata menyipit.
"Aku cuman mau mengantar kamu. Enggak ada maksud lain, La!"
Aku berdecak mendengar jawabannya. Setelah memorak-porandakan semua bahagiaku, ia datang dengan wajah tanpa dosa. Bedebah betul lelaki ini!
"Hei, Bung. Aku tidak sudi berada satu mobil dengan tukang selingkuh. Demi Tuhan, kamu telah membuat perasaanku rusak di pagi ini!"
Tanpa memedulikannya, aku menghindar. Lagi dan lagi, Mas Dimas menghadang langkah ini. Ia bersedekap dengan senyum terpatri di bibirnya.
"Ayolah, La!"
"Sampai saat ini, berhenti untuk mengejarku, Mas! Kamu tidak punya malu atau memang urat malumu sudah putus? Kamu itu sudah punya Milda dan dia itu istrimu!" ucapku dan menatapnya tajam.
"Tawaranku masih berlaku untukmu, La! Aku tahu kamu mencintaiku. Pastinya kamu mau menikah setelah aku menceraikan Milda."
Aku tertawa. Pernyataan Mas Dimas mirip sekali dengan seloroh orang gila. Tawaku berhenti kala Mas Dimas menaikkan sebelah alisnya.
"Lucu sekali kamu, Mas! Wanita itu memiliki hati, tetapi juga memiliki otak. Jika kamu pikir cinta bisa mengalahkan kewarasan wanita, maka aku bukan dari bagian golongan itu. Aku lebih memilih membatalkan pernikahan daripada menikah dengan tukang selingkuh seperti kamu!"
Kutepis cekalan tangan Mas Dimas dengan kasar. Tanpa kata, aku meninggalkan dia yang termenung atas cacianku tadi. Semoga lelaki itu cepat waras dari obsesinya.
***
"La, tumben mata kamu sembab. Ada apa?" Vita teman dekatku bertanya.
"Enggak apa-apa."
"Yakin?!"
Terpaksa aku mengangguk. Mungkin jika nanti sudah siap aku akan curhat dengan teman dekatku ini. Namun, untuk waktu dekat biarkan semua mengalir seperti biasa. Aku ingin mencoba melupakan nestapa yang telah tercipta.
Setelah kepergian Vita, aku hanya termenung sendiri di kantor. Kebetulan hari ini aku kebagian jam ketiga. Untuk mengusir rasa bosan, akhirnya kubuka permainan di ponsel.
"Bu?!"
Aku berdiri kaget kala suara tidak asing terdengar. Di ambang pintu, Pak Fajar tengah menggendong anaknya dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Ada apa ya, Pak?" tanyaku.
"Apa Bu Lala bisa menggendong Fajri sebentar? Saya ada jam pertama. Kebetulan pengasuhnya tadi sakit. Jadi saya bawa ke sekolah."
"Ya."
Tidak ada paksaan, karena aku mulai nyaman menjadi pengasuh Fajri. Melihat wajah imut anak itu membuat rasa ibaku menjalari hati. Tidak dimungkiri, ada sudut hati yang terenyuh saat mendengar gosip bahwa istri Pak Fajar meninggal saat melahitkan. Tentu rasanya menyedihkan hidup tanpa sentuhan kasih sayang seorang ibu.
"Terima kasih, ya, Bu. Saya ingin meminta maaf karena kemarin telah memberi seloroh yang kurang enak didengar."
Alisku terangkat satu. Namun, tidak urung jua akhirnya aku mengangguk paham.
"Apa seloroh yang kemarin?" tanyaku memastikan.
"Iya tentang tawaran menjadi istri saya."
Mendengar penuturan Pak Fajar yang kaku membuatku tertawa. Lelaki dengan postur tubuh menjulang dan alis tebal itu membuang wajah. Seperti salah tingkah. Itu merupakan hal terlucu mengingat ia dijuluki "The Lion Of SMK". Ya, Pak Fajar sekiller itu saat mengajar para murid.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bangkai Kekasihku (Completed) [TERBIT]
SpiritualAwal mula kukira hubungan yang lama terjalin, maka akan kuat pula pondasinya. Pondasi suatu hubungan selalu yang pertama adalah kepercayaan, bukan? Aku menerapkannya pada hubungan kami meski pernah dikhianati sekali. Namun, anganku untuk membangun m...