Fokusku teralihkan dengan suara Pak Fajar. Lelaki itu tergopoh menghampiriku yang masih bergeming di tempat. Untuk ilmu perkawinan silang yang pernah kubaca, setidaknya jika dua orang yang memiliki golongan darah B maka ada kemungkinan anaknya memiliki golongan darah B dan O. Lantas kenapa bisa dua orang menikah dengan golongan darah B dan anaknya memiliki golongan darah A?
Aku merasa heran. Rasa janggal mulai menusuk hati. Namun, aku memilih diam.
"Bu Lala!"
Panggilan khas itu kembali mengalun. Aku tergagap dan menatap pendar di matanya. Lelaki itu tampak khawatir dengan ekspresi yang tidak bisa dideskripsikan. Penampilannya benar-benar kacau untuk sekadar dilihat.
"Ya. Ada apa?"
"Saya tahu kalau Bu Lala memiliki golongan darah A. Saya meminta agar Ibu mau mendonorkan darah untuk Fajri. Anak saya kritis dan kekurangan darah karena DBD."
Dari mana Pak Fajar tahu? Aku bertanya dalam hati. Namun, pertanyaan itu hilang seiring dengan ekspresi khawatir yang ia tampilkan.
Tanpa diminta berulang kali aku mengangguk. Sang dokter menggiringku menuju lab untuk mencocokkan golongan darah dan memeriksa tensiku. Hati ini mengucap syukur karena pemeriksaan menyatakan Hb-ku berada di atas 12,5 g/dl.
Tidak menunggu lama transfusi darah pun dilakukan. Sebisa mungkin kutekan rasa takut pada jarum suntik. Ini semua demi kebaikan seseorang.
Aku memejam merasakan sensasi darah yang disedot. Perlahan rasa sakit mulai kuabaikan. Aku memilih diam dan menikmati rasa sakit yang ada.
Setelah 30 menit, semua prosesi berjalan lancar. Sedikit sempoyongan aku bangkit dari ranjang rumah sakit. Kepala ini terasa pening.
Kakiku sudah hampir mencapai ambang pintu. Namun, tanpa dinyana gelap langsung menyapa. Hening dan damai terasa. Tubuhku melayang seiring dengan rasa sakit yang menghantam kepala.
---HISNANAD---
Cahaya terang membuatku menyipit. Baru saja mata ini terbuka, sudah ada pemandangan menarik untuk dipandang. Pak Fajar tengah tertidur dengan kepala terantuk-antuk tembok.
Setelah memejam dan berusaha membiasakan diri. Aku melihat tidak ada selang infus yang menancap di tangan. Aku mendesah lega. Masih dengan rasa lelah, aku berusaha duduk.
Suara ranjang rumah sakit yang berderit tampaknya mampu mengganggu tidur Pak Fajar. Lelaki itu terbangun dari tidurnya menatapku dengan tatapan tanya.
"Bu Lala sudah sadar? Maafkan saya yang terlalu memaksakan kehendak dan—"
"Saya baik-baik saja. Sudah kewajiban untuk saling menolong." Aku berucap dengan nada pelan.
"Maafkan saya Bu Lala harusnya saya—"
"Tidak perlu minta maaf, Pak! Oh ya, bagaimana keadaan Fajri apa dia sudah membaik?!"
Rasa pening masih terasa. Dunia ini seakan berputar dengan sendirinya. Aku kembali memejam dan berusaha bersikap biasa saja.
"Fajri sudah membaik dan itu berkat Bu Lala," ujar Pak Fajar.
"Tidak usah berlebihan, Pak. Sudah kewajiban manusia." Aku membalas ucapannya sembari mengerutkan kening.
"Lebih baik Bu Lala istirahat dahulu."
Mau tidak mau aku kembali merebahkan diri, karena badan ini terasa lemas sekali. Telingaku kembali berdenging. Selain itu, terasa keringat dingin kembali membasahi telapak tangan ini.
Rasa nyeri ikut hadir di tangan kiriku. Mungkin bekas jarum tadi membengkak. Itu hanya dugaan karena aku sedikit tidak rileks saat prosesi pemasukan jarum tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bangkai Kekasihku (Completed) [TERBIT]
SpiritualAwal mula kukira hubungan yang lama terjalin, maka akan kuat pula pondasinya. Pondasi suatu hubungan selalu yang pertama adalah kepercayaan, bukan? Aku menerapkannya pada hubungan kami meski pernah dikhianati sekali. Namun, anganku untuk membangun m...