Aku terbangun kala bau minyak angin menyeruak masuk di indra penciuman. Mas Dimas tengah duduk di sampingku dengan mata memerah. Ia mengembuskan napas seraya membantuku duduk.
"La, baiknya kamu istirahat. Kamu minum dulu, ya."
Mas Dimas mengulurkan segelas air putih yang hanya kudiamkan. Rasa sesak mengentak dalam hati tidak bisa kuabaikan. Ini nyata, tetapi terlalu menyakitkan untuk dirasa.
"La!"
Menuli. Itu lebih baik untuk kali ini. Istana ketegaran yang telah kubangun semalaman runtuh hanya karena kenyataan yang ada di lapangan. Calon suamiku telah menghamili wanita lain? Aku bahkan tidak percaya bagian ini bisa menjadi potongan puzle dalam hidupku ini.
"Kita selesai," ujarku tanpa memandang Mas Dimas.
"Maksudmu apa?!" Mas Dimas mencengkeram bahuku kasar.
"Kita selesai di sini. Tidak ada yang bisa dipertahankan dari hubungan menjijikan macam ini."
Mata kami beradu cukup lama hingga cekalan Mas Dimas mulai mengendur dengan sendirinya. Lelaki itu bangkit dan menjambak rambutnya.
"Harus berapa kali aku bilang bahwa aku mencintaimu, La?" tanya Mas Dimas membuatku tersenyum remeh.
"Seribu kata pun aku tidak peduli. Bukti nyata kamu sudah menyemai benih di rahim wanita lain!" ujarku penuh penekanan.
Napas Mas Dimas berubah memburu setelah perkataanku tadi. Tangannya mengepal dan matanya memerah. Harusnya ia sadar apa yang kukatakan itu nyata bukan ilusi.
"Kamu jangan menyalahkanku di sini! Kamu juga ikut andil dalam masalah ini, La!"
Rasa lambung yang tertusuk tidak lagi kuperhatikan. Perkataan Mas Dimas sukses membuat emosiku kembali naik ke puncak tertinggi. Dia mengatakan bahwa aku ikut andil dalam masalah ini?
"Apa maksudmu?"
Tidak ada rasa takut untuk menyejajarkan tinggiku dengan Mas Dimas. Kami resmi berhadapan dengan tatapan tajam. Emosi telah mengubah wajah tenang yang tadi sempat bersinggah.
"Apa kamu ingat lima bulan yang lalu kamu menolakku?!"
Ingatanku melayang pada pertengkaran hebat hingga membuat kami sempat pesimis untuk melanjutkan hubungan. Masalah utama yang memantik konflik itu pun berasal dari Mas Dimas.
Mas Dimas mengajakku untuk melakukan hal lebih setelah sebulan kami tunangan. Tentu aku masih waras untuk menolak. Meskipun aku bukan wanita baik-baik, tetapi aku memiliki prinsip bahwa kehormatan tidak bisa ditebus dengan kata cinta.
"Aku ingat. Kita sepakat tidak membahas itu," ujarku mulai melunak.
"Karena pertengkaran itu aku mabuk dan melakukannya dengan Milda. Harusnya kita melakukan itu, La. Namun, kamu selalu beralasan bahwa kita harus melakukannya setelah menikah apa bedanya? Jelas kebutuhan—"
Plak!!
Satu tamparan berhasil kulayangkan di pipinya. Cap telapak tangan terbentuk jelas di pipi Mas Dimas. Lelaki itu bahkan meringis, karena tamparanku tadi.
"Semoga dengan tamparan tadi otakmu kembali berkembang, Mas!" ujarku sarkas.
Napasku tersenggal karena rasa sesak yang datang bertubi. Air mata tak urung jua meluruh membasahi pipi. Tidak bisa kuelakkan bahwa hari ini aku benar-benar merasa patah hati.
"Jika kamu ingin hubungan yang lebih, lalu kenapa kamu tidak menikahiku secepatnya?!" tanyaku sembari mengacungkan telunjuk.
"Menikah itu perlu banyak persiapan, La! Uang seratus ribu pun tidak akan cukup untuk resepsi. Lagian kita juga akan melakukan itu setelah menikah nanti. Apa bedanya?!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Bangkai Kekasihku (Completed) [TERBIT]
EspiritualAwal mula kukira hubungan yang lama terjalin, maka akan kuat pula pondasinya. Pondasi suatu hubungan selalu yang pertama adalah kepercayaan, bukan? Aku menerapkannya pada hubungan kami meski pernah dikhianati sekali. Namun, anganku untuk membangun m...