Pengusaha, mapan, dan tampan. Kurang apa aku sebagai lelaki? Tidak bukan! Namun, Laila itu berbeda. Tunanganku itu bahkan tidak segan membantah kala aku memaksanya untuk melakukan hal yang biasa.
Hubungan lebih dari sekadar pelukan saat pacaran itu wajar menurutku. Namun menurut wanita kolot itu, hubungan badan sebelum ikrar pernikahan itu haram. Hah, aku benci dan mulai menduga-duga bahwa kehormatan Laila telah tercuri atau hilang.
Malam ini kami kembali bertengkar perkara tersebut. Laila bahkan mendiamkan ribuan pesan yang kukirimkan. Marah, kesal, semua bercampur dalam dada. Tanpa pikir panjang aku pergi ke diskotik untuk melampiaskan amarah yang membara.
Sebenarnya malam itu bukan sekali aku mengunjungi diskotik. Setiap ada masalah apa pun kadang aku melarikan diri ke sana. Kenapa? Menurutku di sanalah kesenangan abadi dan kesenangan tanpa syarat.
Laila berulang kali menegurku, tetapi tahu apa dia tentangku. Dia tidak pernah tahu bahwa aku pernah menyandang gelar "petualang ranjang". Wanita itulah tempatku melabuhkan hati dengan cinta yang sebenar-benarnya. Sayangnya kembali ke masalah utama. Laila selalu menolak ketika aku mengajak hubungan lebih. Ia memakiku dengan kata gila, tidak punya otak, dan lain sebagainya.
Padahal wanita di luaran sana dengan mudah takluk ketika aku membisikkan ajakan tersebut. Demi apa pun aku heran dan bingung dengan kekasihku itu. Ada bayang negatif yang memenuhi pikiran sebenarnya. Selain karena kehormatan yang sudah hilang, apa Laila tidak suka lelaki?
Hah! Aku memilih meneguk bir di atas meja. Seorang wanita berlagak genit dan menghampiriku di bar. Ia mengedipkan mata dan menyodorkan minuman. Sebagai tanda persahabatan, kuambil gelas tadi dengan senyuman.
Jeda beberapa menit rasa panas menjalari badan. Aku tahu persis apa perasaan ini. Sial! Aku pun kelimpungan keluar dari diskotik dengan setengah kesadaran. Sampai di kontrakan, Milda tersenyum saat membuka pintu.
Tanpa kata dan tanpa penolakan, aku masih ingat betul bagaimana cara kami mewujudkan hubungan tanpa rasa sungkan. Milda pasrah dan aku memaksa. Mulai malam itu, ranjang kontrakan menjadi saksi bisu selaksa dosa dua anak manusia yang tidak takut dengan karma.
Aku mendengkus kala lengan mulus mulai melingkari leher ini. Milda mulai berlagak centil kala aku termenung sendiri. Wanita ini seakan tahu bahwa diamku, aku memikirkan Laila.
"Mas, jangan kamu pikirkan. Lebih baik kamu bersamaku!"
Milda mengedipkan mata menggoda. Tentu aku bisa apa? Jika Laila tidak bisa memenuhi maka wajar bukan aku memilih wanita lain?!
Untuk kesekian kali aku luluh karena nafsu. Cintaku hilang kala Milda telah menyerahkan segalanya daripada Laila. Aku tidak peduli bagaimana konsekuensi jika Laila mengetahui aksi kami. Lantas, aku memilih acuh dan terbuai dalam dosa dan birahi.
Sekelebat bayang kotor tadi melintas dalam otak. Rasa pening bertambah sakit mendera raga dan jiwa. Keputusan Laila memukul telak. Kukira wanita selalu mau tersakiti dan mau bertahan hanya karena satu kata cinta. Benar, Laila itu berbeda. Lihat saja keputusan tegasnya tadi pagi. Keputusan tadi terdengar tegas tanpa getar kepedihan.
Bodoh! Aku merutuki semua kesalahan yang kuperbuat. Harusnya aku tidak terbuai dengan nafsu sementara. Harusnya aku tidak menerima Milda. Harusnya aku tidak mendengar ocehan kawan-kawan yang memandang Laila adalah wanita kolot.
"Mas?!"
"Jangan ganggu aku!" teriakku tanpa menatap Milda.
Wanita yang tengah mengandung benihku itu pun tampak terkejut tak percaya. Ia justru melangkah mendekat dengan wajah memerah.
"Kamu ini kenapa?!"
"Aku menyesal!" ujarku datar.
"Menyesal karena tidak memutuskan Laila dari dulu?"
Pertanyaan itu membuatku bangkit dan menatapnya nyalang. Milda telah berani menghina wanita yang kucintai sampai saat ini. Itu membuat amarah yang kusimpan semakin meninggi.
"Aku mencintai Laila!"
"Oh ya?! Lirik aku, Mas! Aku sudah mengandung anakmu. Harusnya kamu mulai menerimaku—"
"Aku hanya menerima ragamu. Namun, jangan paksa hatiku untuk menerimamu. Di sini masih ada satu nama yaitu Laila!"
Aku pergi meninggalkan Milda yang berteriak. Kedua orang tuaku terusik dan mencoba menghadang kepergianku. Namun, aku abai. Rasa amarah kali ini harus hilang tanpa main tangan pada Milda.
***
"Terus?!"
"Gue enggak jadi nikah sama Laila!"
Reno temanku justru tertawa. Ia tertawa sampai mengeluarkan air mata. Benar-benar teman jahanam!
"Sukurin! Makanya kalau diejek sama Michael itu enggak usah didengar! Lo terlalu memandang semua cewek sama aja! Laila itu beda."
Botol minuman kaleng yang kuminum telah kulempar. Aku memandang Reno dengan tatapan tanya.
"Ya gue mau memastikan aja. Laila itu masih punya kehormatan apa enggak!"
"Begonya sampai ke tulang, ya!"
Tangan Reno menoyor kepalaku kasar. Aku pun mendesis merasa sakut.
"Kalau cewek enggak mau ada hubungan lebih dari gandengan setelah pacaran itu pertahankan. Lo malah selingkuh?! Udah gue enggak paham lagi."
"Ya gue cuma ngetes!" kilahku
"Ngetes apa? Ngetes otak lo masih berfungsi apa enggak gitu?!"
Kami pun diam enggan melanjutkan pembicaraan. Sepertinya Reno kesal denganku. Ia hanya berdecak berkali-kali.
"Gue pulang!"
"Tunggu, dong! Gue mau minta solusi biar bisa kembali sama Laila!"
Reno mengangkat sebelah alis. Tidak lama ia tersenyum dan kembali. Namun, tidak lama sebuah tinju mendarat di perutku.
"Jangan jadi buaya, deh! Milda udah hamil anak lo!" ujar Reno sembari berdecak lagi.
"Tapi gue cinta sama Laila!"
Tuk!
Sebuah jitakan mampir di kepala. Reno menggelengkan kepala sembari menatapku dengan wajah memerah.
"Laila bukan wanita yang mudah luluh, Dim! Lo aja yang kebangetan! Udah gue pulang! Capek dengar keluhan lo!"
Aku mengembuskan napas lelah. Reno pun beranjak pergi tanpa kata. Sepertinya ia merasa kesal denganku.
Suasana kafe yang lengang membuatku sedikit berpikir. Sebenarnya kesalahanku hanya sepele, kenapa Laila sampai sebegitunya?! Hah! Baiklah aku lelah dan memilih beranjak pulang.
Di mobil, aku mebuka laci dashboar dan melihat cincin berlian milih Laila. Semoga wanita itu kembali ke pelukanku lagi. Semoga. Aku akan memperjuangkannya tanpa henti.
***
Pagi buta, aku telahberada di depan rumah Laila. Wanita yang sudah berseragam rapi itu tampak terkejut dengan kehadiranku. Pintu yang semula terbuka ia biarkan. Sepertinya ia tidak akan lari dan memilih menghadapiku.
"Hai." Aku menyapa dengan senyuman.
Laila tidak memedulikanku. Ia lebih memilih melenggang pergi. Tentu aku tidak suka dengan perangainya. Tanpa diminta, aku mencekal lengannya.
"Aku ingin nganterin kamu!"
Secepat kilat Laila menepis lenganku. "Aku tidak sudi semobil dengan tukang selingkuh!"
Api kemarahan kembali menyambar hati ini. Aku murka dengan Laila. Namun, aku tidak bisa melakukan apa-apa.
Tanganku mengepal menahan amarah dalam dada. Laila pergi dengan kata yang masih kuingat di kepala.
"Sialan!"
Aku Dimas Trianda tidak akan menyerah sampai sini! Maka dukung aku dengan doa agar bisa mendapatkan Laila kembali.
****
#salamwaras.
Part ini hanya diup suka-suka. Marhaban ya Ramadhan. Hisnanad mengucapkan maaf atas kesalahan yang disengaja maupun tidak sengaja. Jangan lupa maafin Dimas, ya!
😜
KAMU SEDANG MEMBACA
Bangkai Kekasihku (Completed) [TERBIT]
SpiritualAwal mula kukira hubungan yang lama terjalin, maka akan kuat pula pondasinya. Pondasi suatu hubungan selalu yang pertama adalah kepercayaan, bukan? Aku menerapkannya pada hubungan kami meski pernah dikhianati sekali. Namun, anganku untuk membangun m...