Aku diam dan menatap mobil Pak Fajar yang mulai melaju. Satu kata cukup mewakili perasaanku kali ini; kesal. Ya, aku kesal. Sangat kesal.
Sindiran tadi seumpama silet yang mampu membuat hati ini pedih. Tidak terlalu sakit. Namun, cukup untuk membuat terluka.
Rasa kesalku hilang kala sebuah suara menyapa. Reno telah berada di pinggir jalan dengan senyuman khas. Lelaki itu mendekat dengan motornya.
"Lai! Sendirian saja?!"
Reno bertanya sembari melepas helmnya. Aku mengangguk. Sedikit canggung karena aku masih ingat dengan guyonannya kemarin.
"Bareng?!"
"Dari mana kamu?" tanyaku basa-basi.
"Habis kerjalah. Oh iya, ada bazar buku kalau kamu belum tahu. Aku hafal dulu kebiasaan Dimas yang memberimu novel sebagai hadiah anniversary."
Awalnya ada rasa senang menjalar ke hati kala mendengar bazar buku. Namun, saat nama Dimas terucap, entah kenapa hati ini begetar dengan dentaman pilu. Masih basah luka yang dia cipta dan itu sulit untuk kulupa.
Aku tercenung sejenak lantas mengembuskan napas panjang. Ada harap yang terbang bersama embusan karbon dioksida tadi. Ya, aku berharap luka basah yang ada bisa mengering dan membaik secepat mungkin.
Meskipun sebagian orang beropini bahwa hati yang terluka karena cinta bisa sembuh dengan adanya cinta baru, aku tidak percaya itu. Aku yakin luka ini bisa sembuh sewaktu-waktu. Tanpa atau dengan hadirnya orang baru. Aku belum siap untuk kembali membuka relung kalbu dan mencecap cinta yang khianat kesekian kali.
"Lai?!"
Lamunanku terhenti karena panggilan Reno. Lelaki itu sampai-sampai mengibaskan tangannya di depanku berkali-kali. Aku tersenyum dan berusaha menguasai diri lagi.
"Maaf kalau perkataanku tentang Dim—"
"Tidak apa. Asalkan jangan sebut nama itu lagi." Aku memotong ucapannya.
Reno mengangguk. "Jadi, kamu mau ke bazar buku atau tidak?"
"Boleh," ujarku setelah melihat jam di pergelangan tangan ini.
Hari belum terlalu sore. Masih ada waktu untuk mencari bahan bacaan inspirasi. Setidaknya dengan membaca bacaan baru bisa membuat pikiranku terbuka dan mengisi waktu luang.
Anggap saja itu sebagai pelarianku saat ini. Tidak salah bukan?
Aku pun menaiki motor Reno. Kami berbincang ringan. Hingga hatiku sedikit terketuk kala melihat buku tangan lelaki itu yang menghitam setelah kami sampai.
"Kamu kerja apa?" tanyaku penasaran.
Reno telah selesai memarkirkan motornya. Sekarang kami berjalan beriringan di tengah keramaian. Aku diam menunggu pertanyaan yang belum memiliki jawaban.
"Aku bekerja apa saja asal halal. Termasuk kuli panggul di pasar."
Terkejut. Satu kata itu mampu mewakili perasaanku saat ini. Setahuku Mas Dimas hanya berteman dengan anak orang kaya yang doyan hura-hura. Namun, penuturan Reno benar-benar membuatku tidak mengerti.
"Terkejut, ya?"
Aku mengangguk karena tidak memiliki pilihan. "Iya."
"Dulu iya setahun lalu, aku masih punya mobil dan uang banyak. Tiap waktu bisa hura-hura. Tidak ada pacar, karena wanita bahkan gadis bertekuk lutut di hadapanku. Tanpa kuminta pun mereka menyerahkan kehormatannya."
Aku diam mendengarkan. Sungguh, aku tidak menyangka jika Reno pernah terjerumus dalam kubang hitam. Setelah kalimat panjang tadi, kami diserang keheningan dalam keramaian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bangkai Kekasihku (Completed) [TERBIT]
SpiritualAwal mula kukira hubungan yang lama terjalin, maka akan kuat pula pondasinya. Pondasi suatu hubungan selalu yang pertama adalah kepercayaan, bukan? Aku menerapkannya pada hubungan kami meski pernah dikhianati sekali. Namun, anganku untuk membangun m...