Perjalanan ke sekolah terasa berbeda. Entah kenapa mulai muncul praduga yang tidak wajar di kepala ini. Sedari mama mengatakan bahwa lelaki yang dijodohkan denganku adalah seorang guru, sontak pikiran ini tertuju pada satu nama. Fajar Sadewa.
Ya Tuhan, kenapa lelaki itu yang menyita pikiran. Padahal sudah jelas kemarin dia melemparkan sindiran. Tentang salam, dakwah, dan jilbab. Tiga kejadian itu terus berputar dalam memori bagai gasing yang tidak memiliki titik henti.
Saat bus sudah sampai di SMK, aku pun turun dengan hati-hati. Jam di tangan menunjukkan pukul setengah tujuh pagi. Benar, aku datang terlalu awal hingga keadaan kantor masih sepi.
Beberapa guru datang setelah lima belas menit aku duduk di kursi. Mereka menyapa dan salah satu guru yang terkenal nyinyir mulai mendekatiku. Bu Mariska yang memiliki umur sedikit lebih tua itu mulai menampakkan wajah yang tidak bisa kutebak.
"Bu Laila, apa benar Ibu tidak jadi menikah?"
Aku terkejut. Ini masalah pribadi dan Bu Mariska berani bertanya dengan nada tinggi. Refleks seluruh guru di ruangan kantor menatap kami.
Lidahku tidak mampu bergerak. Pita suaraku seakan terhalang tabir tidak kasat mata hingga kini aku kehilangan suara. Bukan! Aku bukan malu, hanya saja tidak sepantasnya wanita yang lebih tua dariku itu bertanya masalah pribadi secara terang-terangan begini.
"Siapa yang gagal menikah?" Suara berat membuat fokusku teralihkan.
Pak Fajar telah berada di ambang pintu dengan menenteng tas di tangan. Suasana sedikit canggung karena pertanyaannya.
Bu Mariska tetap sama. Wanita itu masih melemparkan tatapan tanya. Apa ia tidak tahu malu? Atau ia tidak memiliki malu?
"Ini Pak Fajar, kata tetangga saya Bu Laila—"
"Ayo, Bu, saya ada perlu!" potong Vita membuatku bersyukur dalam hati.
Dengan kode mata, Vita mengajakku pergi dari kantor ini. Samar-samar masih terdengar bisik-bisik guru lain tentang berita tadi. Namun, aku memilih abai dan mengekori Vita menuju taman yang tampak sepi.
"Maaf sebelumnya jika saya lancang." Vita mengembuskan napas dan menatapku dengan kedipan mata.
"Saya baru datang dan mendengar pertanyaan Ibu pada Laila. Saya hanya ingin menegur, baiknya Ibu bertanya saat keadaan sepi. Bukan seperti tadi saat keadaan kantor sedang ramai-ramainya." Vita tersenyum mengakhiri kalimat panjangnya.
Bu Mariska menatap sinis ke arahku dan Vita secara bergantian. "Saya cuman tanya, lalu apa salahnya?! Jangan baperan jadi orang."
"Bukan begitu, Bu. Saya tidak baper dengan pertanyaan Ibu. Namun, alangkah baiknya pertanyaan tadi ditanyakan saat sedang berdua saja. Bukan saat ramai. Itu adalah masalah pribadi saya dan seharusnya Ibu tidak berhak mencampurinya."
Aku berusaha sabar dan menahan emosi saat mengatakan penjelasan tadi. Sepertinya Bu Mariska tidak memiliki niat baik. Wanita itu secara terang-terangan justru mencebik.
"Saya sudah tua dan sudah dewasa, saya tahu mana yang baik dan mana yang salah. Untuk masalah tadi ya Bu Laila yang salah," ujar Bu Mariska dengan wajah tanpa dosa.
Tanganku mengepal menahan amarah. Di dadaku telah ada bara api yang menyala karena pembelaan Bu Mariska. Mungkin jika aku tidak ingat dia adalah orang tua, aku sudah menamparnya.
"Dewasa itu bukan perkara tua atau mudanya usia. Dewasa itu saat kita mampu bersikap bijak terhadap semua masalah yang ada. Menurut saya, Ibu masih gagal untuk menjadi tua yang dewasa. Bukti nyata Ibu memilih mengumbar aib Laila dalam keramaian," ujar Vita datar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bangkai Kekasihku (Completed) [TERBIT]
EspiritualAwal mula kukira hubungan yang lama terjalin, maka akan kuat pula pondasinya. Pondasi suatu hubungan selalu yang pertama adalah kepercayaan, bukan? Aku menerapkannya pada hubungan kami meski pernah dikhianati sekali. Namun, anganku untuk membangun m...