Makan malam berlangsung dengan keheningan. Sedari papa berpamitan sore tadi, mama belum berbicara sepatah kata pun. Wanita paruh baya itu seakan mengerti keenggananku untuk membicarakan semua hal berkaitan dengan lelaki itu.
"Kak, Salwa mau berbicara." Adikku itu menunduk saat mengatakan kalimat tadi.
Ada aura keanehan yang mulai menguar nyata. Tidak biasanya Salwa berkata dengan menunduk, kecuali ada hal yang serius. Mendadak ruang makan hening. Mama tidak lagi bergerak untuk sekadar membereskan piring. Tatapan mereka tertuju padaku. Tentu aku merasa ada yang tidak beres di sini.
"Salwa ingin ... menikah."
Jeda di kalimat tadi mampu membuat sesuatu di hatiku terusik. Menikah? Kuharap telingaku masih berfungsi normal layaknya manusia lain.
"Salwa ingin menikah setelah Kak Laila menikah. Namun, kabar dari mama sudah cukup membuat Salwa gamang." Adikku semakin menunduk.
Oh, ternyata. Kukira ada sesuatu yang buruk terjadi hingga membuat adik kecilku harus menikah. Sekarang, aku paham arah pembicaraan ini.
"Menikahlah kalau sudah siap," ujarku santai.
"Tidak bisa!" Mama berujar dengan nada tegas.
"Sudah jadi pegangan keluarga kita, pernikahan bungsu tidak boleh mendahului pernikahan sulung."
Kukira masalah tadi sudah selesai sampai di sini. Lantas apalagi ini? Sulung dan bungsu? Rasa tidak enak mulai datang menggelayuti hati.
"Lantas apa?" tanyaku bingung.
"Kamu harus menikah dengan lelaki yang dipilihkan papamu. Barulah Salwa bisa menikah."
Perkataan mama membuatku menganga. Oh, apa ini semacam perjodohan seperti Siti Nurbaya? Demi Tuhan, luka yang diciptakan Mas Dimas belum kering dan sekarang aku harus dipaksa menerima menjalin ibadah terlama dengan orang yang tidak kukenal.
"Tidak! Aku tidak mau, Ma!" Aku menolak dengan tegas.
"Kamu belum mengenal calonmu, La! Coba kalau kamu mengenal dan mendekati dia. Pasti lama-lama akan tumbuh cinta," ujar mama seakan meyakinkan.
Ya Tuhan, lelucon apalagi ini? Setelah drama kekasihku, ada drama tentang perjodohan hanya karena tradisi keluarga. Menyedihkan sekali hidupmu, La.
"Apa Mama bisa menjamin lelaki yang dipilihkan lelaki itu memiliki sifat setia? Aku ragu, jika saja lelaki itu menyelingkuhi Mama lantas bagaimana calon yang akan diberikan pada anaknya? Sama juga? Tentu aku akan berpikir seribu kali untuk menerima perjodohan ini!" ujarku datar.
"Dia juga papamu, La!" Suara mama mulai meninggi.
Sendok dan garpu yang masih berada di tangan kubanting dengan kasar. Tidak peduli lagi dengan nasib piring yang pecah, karena aku lebih memikirkan hati ini yang patah.
"Dia bukan papaku lagi. Aku tidak punya papa semenjak lelaki itu pergi bersama wanita lain!"
Plak!
Satu tamparan berhasil mendarat di pipiku. Mama menatapku dengan mata memerah. Aku berharap ini mimpi. Malaikatku menamparku untuk pertama kali?
"Dia papamu, La!"
"Dia papa kita, Kak!" Si bungsu Maura ikut angkat bicara.
Bagus. Di sini semua orang mulai terbuka dengan kedatangan tua bangka itu. Lihatlah, sekarang mereka mulai membela. Besok apalagi? Mereka akan membawa sosok itu ke sini? Cih!
"Diam, Ra!" Aku membentaknya.
"Tanpa ada papa, Kakak tidak mungkin ada di dunia."
Aku tertawa. Lucu sekali orang-orang ini. Semua seakan lupa bahwa dulu siapa yang membuat keluarga ini terlunta-lunta.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bangkai Kekasihku (Completed) [TERBIT]
SpirituellesAwal mula kukira hubungan yang lama terjalin, maka akan kuat pula pondasinya. Pondasi suatu hubungan selalu yang pertama adalah kepercayaan, bukan? Aku menerapkannya pada hubungan kami meski pernah dikhianati sekali. Namun, anganku untuk membangun m...