"Mas, kapan pulang?"Aku mendengkus menatap ke luar jendela. Sudah lama Mas Dimas tidak pulang. Padahal harusnya ia tahu, di sini aku menahan rindu.
"Sabar, ya, Dik. Mas pasti pulang."
"Bullshit!"
Ada rasa kecewa menghantam dada. Hubungan jarak jauh itu tidak mudah seperti yang terlihat di depan mata. Kami yang sudah menjalaninya hampir lima tahun pacaran harus putus nyambung berkali-kali untuk memutuskan ke jenjang yang lebih serius lagi.
"Jangan ngambek, Dik. Ini semua juga buat siapa? Buat kamu! Pasti kamu lagi monyongin bibir, ya?!"
"Sok tahu!"
"Aku tahu. Aku, 'kan, kekasihmu. Cinta terakhirmu."
"Heleh!"
Kami diam. Tidak ada lagi percakapan. Akhir-akhir ini aku sibuk dengan kegiatan mengajar, sedangkan dia sibuk dengan kegiatan kantor. Hambar sudah hubungan kami. Kabar-kabaran padahal hal yang wajib hampir setiap jam. Namun, tidak dengan akhir-akhir ini.
"Mas?"
"Hm. Aku harus balik kerja lagi. Kututup teleponnya, ya?!"
Bisa ditebak apa yang terjadi selanjutnya. Telepon ditutup sepihak. Apa yang kulakukan? Hanya berusaha menabahkan hati dan berpikir positif.
Sabar, lima bulan lagi kamu akan jadi istrinya.
Aku menggumamkan kalimat itu sebelum berbalik badan. Di belakangku sudah berdiri guru baru dengan alis terangkat satu. Ia mendekat dengan tatapan tanya.
"Oh ... jadi Bu Lala belum menikah."
"Iya, Pak. Kenapa ya?!"
"Alhamdulillah."
"Loh?!"
Ia berjalan sembari meninggalkanku yang terpaku. Memangnya kenapa kalau aku belum menikah? Apa dia mau nikahin aku?! Eh?!
***
Hari ini kantor guru diisi dengan tangisan bayi. Bayi siapa? Jelas bayi guru baru itu.
"Pak baru jadi ayah, ya? Kok, anaknya nggak mau diam?" Aku yang tengah dilanda PMS jadi sensitif dengan kebisingan yang terjadi.
"Ya, saya baru saja jadi ayah." Ia berujar dengan wajah tanpa dosa.
Aku berdecak dan mengambil alih bayi itu dari gendongannya. Persetan dengan tatapan curiga para guru lain. Kepalaku sedang tidak bisa diajak berkompromi untuk mendengar kebisingan. Aku butuh ketenangan, karena telah terjadi masalah tadi malam.
"Saya tenangin."
Tidak sia-sia kemahiranku dalam mengasuh dua adikku bertahun-tahun lalu. Bukti nyatanya sekarang bayi di dekapanku tertidur dengan mata terpejam syahdu.
"Pintar juga Bu Lala jadi ibu. Sayang belum punya bayi."
"Namanya belum menikah, Pak. Makanya doakan biar cepat menikah. Lima bulan lagi, kok," ujarku santai.
"Sekarang juga bisa punya bayi, kok, Bu."
Aku mendelik tidak tahu apa maksudnya. "Kok, bisa?"
"Bisa kalau Bu Lala jadi istri saya."
"Eaaa," teriak guru lain dengan tatapan menggoda.
Sabar, La. Sabar. Aku tersenyum terpaksa di depan para guru yang mulai meledek. Dasar duda anyaran!
***
Amboi pikiran bertumpuk-tumpuk benar-benar membuatku suntuk. Padahal ini sudah jam sepuluh malam. Namun, mata ini tidak jua bisa terpejam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bangkai Kekasihku (Completed) [TERBIT]
EspiritualAwal mula kukira hubungan yang lama terjalin, maka akan kuat pula pondasinya. Pondasi suatu hubungan selalu yang pertama adalah kepercayaan, bukan? Aku menerapkannya pada hubungan kami meski pernah dikhianati sekali. Namun, anganku untuk membangun m...