Suasana cerah mampu membuat rasa lelah kabur seketika. Panorama di Tanah Lot memang bukan main-main ternyata. Di sini juga kental sekali suasana adat istiadatnya.
Sejauh mata memandang, telah menghampar batu karang dengan ombak yang menggulung berkali-kali. Tiap debur itu terpecah, aku merasa damai. Angin yang menerpa pun membuatku menikmati suasana ini.
Entah berapa kali Vita menggumamkan kata 'subhanallah'. Wanita itu seakan terpana dengan lukisan Tuhan yang nyata. Langit cerah tanpa kelabu, air jernih yang membiru, serta karang yang tegak membisu.
"Aku enggak menyesal karena perjalanan ini." Vita berujar penuh semangat.
"Aku juga."
Kami pun berjalan melipir menuju gapura. Vita menyodorkan kamera dan memintaku untuk memotret dirinya. Dengan kemampuan jepretan abal-abal, kulakukan permintaannya.
Pose berkali-kali pun Vita lakukan. Mulai dari duduk sampai berdiri Vita laksanakan. Aku hanya bisa pasrah dan menekan tombol berkali-kali.
"Sudah lima puluh foto." Aku berujar dengan mengangkat tangan.
Vita memonyongkan bibir. "Oke! Ayo foto sama aku!"
Tawaran itu kutolak tanpa sanggahan. Vita pun menyerah dan mengajakku mendekat ke pantai lagi.
Di seberang pantai memang ada pura dan menurut guide tour, wanita yang berhalangan tidak boleh memasukinya. Tempat ibadah harus suci dan tidak boleh dikotori. Begitu katanya.
Satu jam penuh kami berada di Tanah Lot, semua murid pun diintruksikan menuju salah satu rumah makan. Sebelum ke rumah makan, kami disambut dengan toko tempat oleh-oleh khas Bali. Vita yang mengetahui itu hanya bisa menggeleng pelan.
"Aku kepingin."
"Nanti dulu!" Aku melotot ke arahnya.
Aku tahu Vita mengatakan pingin karena melihat kata diskon. Beginilah wanita yang kodratnya suka belanja dengan harga semurah-murahnya.
Aku dan Vita tiba saat para murid sudah duduk di tempat masing-masing. Lambaian tangan seseorang membuat Vita menyenggol lenganku.
"Itu! Kita disendirikan tempat makannya."
Tanpa aba-aba, Vita menyeretku menuju tempat lesehan. Semua guru sudah memenuhi tempat masing-masing. Hingga Vita memaksaku untuk duduk di samping Pak Fajar lagi.
Kebetulan yang terlalu sering sebenarnya. Selalu saja tempat di samping Pak Fajar kosong melompong. Lantas, aku harus mengisinya karena Vita selalu memaksa.
Lima belas menit kemudian sebagian guru telah beranjak pergi. Aku dan Vita masih berdiam sembari menikmati sarapan ini. Menu yang enak, tetapi karena masih pening jadilah aku hanya mampu menghabiskan sedikit nasi.
"Makan yang banyak biar kuat berdiri, Bu."
Bisikan itu mampu menghilangkan sebagian akal warasku. Jarak yang tidak jauh membuat harum parfum Pak Fajar menguar memasuki penciuman. Hal itu sukses membuat debar aneh datang untuk kesekian kali.
Aku merutuki diri setelah Pak Fajar pergi, sedangkan Vita menggeleng dengan tatapan menggoda. Wanita itu senang sekali melihatku salah tingkah.
"Bagussss! Lanjutkan terus, La! Aku gemas sama kalian. Aku juga pengen ini!"
Kata gemas terucap sembari sebuah cubitan mendarat di lengan. Aku mendesis dan Vita tertawa kegirangan. Menyebalkan betul.
Pukul setengah sembilan, sebuah pesan pun masuk di WA. Pesan yang berisi pemberitahuan agar seluruh murid dan guru berkumpul itu mampu menghentikan ledekan Vita.
Bergegas kami melangkah dan memindai murid yang masih betah tinggal. Di dalam bus telah ada seseorang yang bertugas sebagai guide tour.
"Selamat pagi, Adik-adik. Panggil saya Made ya. Di sini saya akan jadi guide tour Adik-adik selama seminggu di Bali."
Seluruh murid pun bertepuk tangan. Lelaki berperawakan tinggi dan berkulit cerah itu pun tersenyum ramah. Usianya mungkin sekitar 47 tahunan.
Ia memperkenalkan diri panjang lebar. Sesekali lelucon yang disampaikan mampu membuat tawa murid menggelegar. Vita pun ikut tertawa meski lirih. Wanita itu kini tidak lagi menyandarkan kepala ke kaca, melainkan sekarang ia bersandar di pundakku.
Rasa kantuk mulai menjalar ketika Made memberitahukan bahwa perjalanan ke museum akan memakan waktu lama. Yaitu sekitar 3 jam. Made pun mempersilakan kami untuk memilih tidur atau mendengarkan informasi yang akan ia sampaikan.
Vita tidak lagi bersemangat. Ia justru mulai terlelap dengan wajah lelah. Baru saja aku ingin menutup mata, tetapi penjelasan Made mampu menarik perhatian.
"Kalau mau tanya hal yang tidak diketahui boleh, kok. Made siap menjawab. Oh iya di sini Adik-adik tahu kenapa rata-rata orang bali memiliki nama berawalan I dan Ni?"
Aku menoleh dan tanpa disengaja Pak Fajar juga menoleh. Kami saling berpandangan dengan tatapan yang tidak bisa dideskripsikan. Tidak menunggu lama, aku pun mengalihkan pandangan.
"I dan Ni adalah kata sandang penanda jenis kelamin."
Dalam hati aku pun mengiyakan informasi tadi. Sebenarnya telingaku tadi seakan menuli karena tatapan Pak Fajar yang mengunci. Namun dengan adanya informasi Made, aku bisa mengalihkan perasaan dan pikiran aneh ini.
"I Made, I Wayan, dan I Ketut. Pernah dengar?"
Tidak ada jawaban. Bisa dipastikan para murid kekurangan wawasan masalah pelajaran sejarah. Semenjak revisi kurikulum, SMK kini telah diberatkan untuk praktikum kejuruan daripada pelajaran biasa. Jadilah jam pelajaran teori kejuruan melebihi 12 jam.
"I adalah kata sandang yang mengartikan kelamin laki-laki dan Ni adalah kata sandang untuk mengartikan kelamin perempuan. Paham?"
"Paham."
Secara serentak bus pun ramai. Anak-anak sepertinya menyukai informasi ini. Itu hanya kemungkinan karena melihat begitu antusiasnya jawaban tadi.
"Oh iya, Made mau memberi peraturan selama Adik-adik di sini. Kalian jangan sampai menginjak, merusak, dan melakukan hal negatif terhadap sesajen yang ada."
Suasana mendadak hening. Berulang kali para guru telah menyampaikan hal ini sebelum perjalanan study tour dilakukan. Tidak ada alasan lain selain untuk menjaga keselamatan.
Suasana adat dan istiadat yang kental di sini membuat peraturan turun-temurun tersebut menjadi wejangan wajib. Apalagi budaya di Bali berbeda dengan Jawa. Sebagai alasan keselamatan dan toleransi, anak-anak pun paham bahwa hal yang dikatakan Made betul adanya.
Bisa jadi anak-anak sudah hafal di luar kepala tentang ini. Aku pun percaya mereka adalah anak baik yang pastinya mau menuruti apa perintah guru.
Kepercayaanku berlandaskan pada aturan SMK yang ketat. Hukuman 156 masih berjalan sampai kini. Ya. Hanya di SMK kami. Jika ditanya hukuman 156 itu apa maka akan kujelaskan.
Bila ada anak yang terlambat, tidak peduli ia anak pejabat maka wajib diberlakukan hukuman. Hukuman 156 adalah hukuman jongkok 156 kali mengitari lapangan.
Tegas? Ya. Namun cara ini ampuh membuat anak bandel menjadi insyaf. Beberapa bahkan menyampaikan terima kasih secara terang-terangan karena adanya hukuman 156, mereka merasa sehat dan lulus tes polisi.
Lamunanku terbuyarkan kala suara Made kembali mengalun. Kali ini topik telah berbeda.
"Tiap rumah memiliki pura di depannya."
Mataku melongok ke arah kaca dan menemukan bangunan kecil di depan rumah. Aku mengangguk dan kembali memperhatikan penjelasan Made, tetapi suara Pak Fajar mampu membuatku mengernyit heran.
Lelaki itu bahkan sampai berdiri dan menyerukan satu kata. Wajahnya memucat dengan rahang mengeras. Memang ada apa?
"Apa?!"
Hanya satu kata tanya itu yang mengalun dan mampu membuatku terpana. Ada apakah dengan Pak Fajar Sadewa?
KAMU SEDANG MEMBACA
Bangkai Kekasihku (Completed) [TERBIT]
EspiritualAwal mula kukira hubungan yang lama terjalin, maka akan kuat pula pondasinya. Pondasi suatu hubungan selalu yang pertama adalah kepercayaan, bukan? Aku menerapkannya pada hubungan kami meski pernah dikhianati sekali. Namun, anganku untuk membangun m...