Part 9

8.4K 754 50
                                    

"Merah!"

Bisikan kata itu selalu membayang tiap waktuku. Ya Tuhan, kenapa hari ini aku ketiban sial? Rasa malu terasa dua kali lipat dan itu hanya berporos pada satu orang yaitu Pak Fajar.

Aku melihat kalender dan mendesah kecewa. Padahal ini belum waktunya bulan datang. Namun, kenapa sekali datang justru memalukan?

Tatapan Pak Fajar yang datar serta pipinya yang merah benar-benar membuatku ingin hilang saat itu juga. Lelaki itu kenapa juga harus mengode dengan cara yang tidak wajar? Entahlah yang terpenting ini semua salah Pak Fajar.

"Arrrggghhh!"

Aku menggigit bantal dan mendesah lelah. Hingga sebuah ketukan pintu membuatku sadar bahwa di rumah masih ada orang lain.

"Kak, Kak Laila enggak apa-apa?"

"Enggak apa-apa. Aku mau tidur."

"Tumben enggak ikut kumpul?" tanya Marwa.

"Enggak apa-apa. Lagi dapet bawaannya mager." Aku berkilah.

"Oh pantesan bawaannya anu."

Mataku menyipit mendengar selorohan Marwa. Secepat kilat pintu kubuka dan benar Marwa telah melipir dengan wajah menjengkelkan. Jikalau ia tidak lari tadi, pastilah bantal ini telah melayang ke wajahnya. Huh! Punya adik kok enggak ada yang benar!

Rasa nyeri mulai menjalari perut. Seperti inilah yang tidak kusuka saat sang bulan datang. Rasanya tidak bisa dijabarkan. Selain mood naik turun, rasa sakit di perut sangat menyiksa.

Saat sedang posisi nyaman, sebuah ketukan pintu kembali terdengar. Suara mama mengiringi kemalasanku untuk bangkit dari posisi sujud di kasur. Setelah pintu terbuka, wanita paruh baya itu menyodorkan sebuah paket.

"Ada paket tadi. Kamu pesan apa, sih? Kok berat?" tanya mama membuatku terdiam.

Seingatku tidak ada pesanan apa pun. Namun tidak urung jua tangan ini terulur. Mama hanya menggeleng sembari berlalu.

Sedikit tidak sabar kubuka paket box dengan bobot yang lumayan itu. Saat lapisan terakhir, aku mengerti ini adalah apa. Benar saat semua terbuka mulutku mengaga.

Satu dus Kirant*. Dari siapa?

---Hisnanad---

Ledekan pagi ini tidak jauh dari kejadian kemarin. Salwa dan Marwa kompak berbicara dengan satu kata "cie" saat aku tiba di ruang makan. Dua kakak-beradik itu mencecarku habis-habisan.

"Jaket hitam di belakang rumah itu milik siapa, Kak?" tanya Salwa mencolek daguku.

"Iya. Baunya manly sekali. Hayo siapa?!" Marwa ikut mengompori.

Aku memilih diam dan duduk di kursi. Semoga dengan diamku mereka lelah sendiri. Namun, dugaanku meleset. Mereka justru menjadi dengan candaan yang sukses membuat kepalaku berasap.

"Kak, siapa? Pepet terus, Kak. Jangan kasih kendor setelah dekat nanti nikah. Terus aku bisa nikah sama Mas Hanaf." Salwa berkata dengan mata mengawang.

Marwa yang mendengar itu tampak geram. Dengan gesit remaja tanggung itu mencubit lengan kakaknya. Aku terkekeh ketika jeritan tertahan Salwa terdengar.

"Ih, Kak Salwa. Mikirnya nikah mulu!"

"Dari kemarin gadis mama bicara tentang pernikahan terus, ya?!" Mama bertanya seraya mengeluarkan sarapan.

"Memang sudah siap lahir batin?!"

Kami diam serentak. Kemungkinan besar akan ada ceramah rohani pagi ini. Tentu dari mama yang kini mulai duduk di sampingku.

Bangkai Kekasihku (Completed) [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang