Tidak ada jawaban atas pertanyaan mama. Aku lebih memilih diam. Untuk jarak dekat ini, aku belum berani mengambil keputusan. Sendirian mungkin lebih nyaman daripada menikah dengan keterpaksaan.
Beruntunglah pagi ini tidak ada duo racun. Salwa dan Marwa. Dua adikku telah pergi kemarin sore. Mereka berangkat ke kota untuk meneruskan pekerjaan dan sekolah.
Jika mereka ada, bisa dipastikan seluruh kata cie akan terlontar dari mulut tersebut. Hah. Aku memilih memejamkan mata dan merebahkan diri lagi.
Mama paham dan tersenyum kecut tampaknya. Wanita itu lantas duduk di sampingku dan membisikkan beberapa kalimat.
"Kamu harus siap. Rumah yang tertutup harus dibuka jika ada tamu. Begitu juga dengan hati."
Aku bergeming di tempat. Perkataan mama memang ada benarnya. Namun, sekali lagi ada rasa enggan menghampiri.
Baru saja mata ini akan tertutup, tetapi sebuah pesan kembali membuatku membelalak. Tertera nama Pak Fajar di layar ponsel serta beberapa pesannya.
[Maaf jika saya lancang memindahkan Bu Lala ke kasur.]
Debar itu datang lagi. Rona wajah Pak Fajar membayang. Aku hanya berdeham berusaha bersikap normal.
[Ya tidak apa-apa. Seharusnya saya berterima kasih.]
Opsi terakhir yang kupilih adalah mematikan ponsel. Jika ditanya mengapa, maka jawabannya hanya satu. Aku takut dengan debar-debar ini. Apa mungkin aku sakit jantung?
---HISNANAD---
Hari-hari berlalu, nama Pak Fajar selalu membayang. Wajah merona, senyum lebar, dan ekspresi datar. Tiga hal tadi terus berputar membuat kepala ini pening tidak tertahankan.
Anehnya setelah kejadian donor darah tempo hari, lelaki itu lebih sering menebar senyuman. Tidak ada sindiran halus hingga kasar yang kudengar. Pak Fajar tersenyum sedikit lebar ketika bertemu denganku.
"Vit!"
Kegundahan hatiku semakin menjadi. Kuputuskan untuk meminta solusi. Tentu pada Vita yang notabene teman sejatiku.
"Ya?"
Hari Jumat ini terasa sunyi. Para murid kelas XII dipulangkan lebih pagi. Dengan alasan untuk mengistirahatkan diri karena study tour akan dimulai hari Senin.
"Kamu kenapa, La? Dari kemarin kulihat kamu selalu gelisah?"
Refleks kugigit bibir ini. Terhitung sudah tiga malam aku bermimpi. Mimpi yang anehnya berisi orang yang sama. Fajar Sadewa.
Apa aku memikirkan lelaki itu? Tidak. Aku tidak pernah memikirkan Pak Fajar. Bayangan itu datang sendiri. Seperti angin yang datang tanpa diundang. Menyebalkan? Tentu saja.
Meskipun Reno kerap kali mengirimi pesan dengan lelucon renyah, tetapi pikiran ini justru semakin tersita dengan teka-teki yang ada. Teka-teki tentang siapa Pak Fajar yang sebenarnya.
Rasanya aku masih tidak percaya jika mama mengatakan bahwa Pak Fajar adalah calon yang diajukan papa. Semua terasa ganjil dan debar yang tiba-tiba datang ini sungguh mengganggu. Tuhan, ada apa denganku?
"La!"
Senggolan dan teriakan Vita membuatku tergagap. Wajah wanita itu telah merah padam dengan gigi gemeletuk.
"Sudah sebelas kali aku memanggil dan kamu hanya diam? Maksud kamu—"
"Pak Fajar!" potongku cepat secara tidak sadar.
Tangan ini pun terulur menutup mulut. Vita menganga dan menaikkan sebelas alisnya.
"Ada apa dengan duda itu?" bisiknya tepat di telingaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bangkai Kekasihku (Completed) [TERBIT]
SpiritualAwal mula kukira hubungan yang lama terjalin, maka akan kuat pula pondasinya. Pondasi suatu hubungan selalu yang pertama adalah kepercayaan, bukan? Aku menerapkannya pada hubungan kami meski pernah dikhianati sekali. Namun, anganku untuk membangun m...