Part 14

7K 604 30
                                    

Dingin menusuk ke tulang. Malam semakin meninggi. Pekat dan sunyi.

Hiruk pikuk siang tadi telah lenyap ditelah keheningan. Semua murid kini pulas dengan mimpi masing-masing. Mereka mungkin merasa lelah karena perjalanan panjang ini.

Makan siang telah dilakukan di Masjid Agung Surabaya. Di sana dilakukan istirahat beberapa jam guna menghirup udara segar.

Perjalanan menuju Bali baru dilanjut pukul tiga sore. Suasana bus mendadak ramai karena adanya karaoke. Sore tadi beberapa murid bahkan menyumbangkan suara.

Aku mendesah menahan rasa sakit di leher karena harus tidur tanpa bantal. Sakit terasa karena harus tetap menegakkan kepala meski pening masih melanda.

Berulang kali aku terbangun karena suara kepala Vita yang terantuk kaca. Wanita itu terlihat lelap meski tidak terhitung berapa kali kepalanya bersuara.

Terlihat titik-titik embun merembes di kaca jendela. Sepertinya akan ada hujan. Itu hanya perkiraan yang ada dalam pikiran.

"Bu, boleh pinjam ponsel."

Aku menoleh ke sumber suara. Pak Fajar bertanya dengan mata mengharap. Tanpa pikir panjang, aku pun menyodorkan ponsel.

Dalam keremangan cahaya, mata ini awas menatap. Pak Fajar hanya mengenakan kaos pendek padahal udara dingin mampu membuatku menggigil. Jaket hitamnya masih melekat di badan ini. Dengan berbagai pertimbangan kuputuskan melepas jaket tersebut dan mengembalikannya.

"Ini saya kembalikan."

Pak Fajar menaikkan sebelah alis. "Tidak apa. Pakai Bu Lala saja. Bu Lala sedang tidak enak badan."

"Saya ba—"

Hatchi!

Sanggahanku tidak berarti apa-apa. Baru beberapa menit melepas jaket dan hasilnya hidung ini berair. Mulu ini mulai ingin bergerak dan menggigil. Duh, ringkih sekali kamu, La! Aku merutuk dalam hati.

"Jangan sungkan. Bu Lala lebih membutuhkan daripada saya."

Seulas senyum Pak Fajar tampilkan. Aku pun menurut dan kembali memakai jaket tadi. Rasa hangat mulai melingkupi badan. Tidak lupa debar asing datang.

"Tidak ada signal."

Pak Fajar menyodorkan ponsel. Lelaki itu menggeleng dengan wajah lelah.

"Memangnya untuk apa?"

"Untuk bertanya keadaan sese—rumah!"

Jawaban gagap Pak Fajar membuatku menerka-nerka. Kenapa lelaki ini? Sepertinya ia menyembunyikan sesuatu.

"Kita sampai mana?" tanyaku mengalihkan kecanggungan.

"Kita lewat hutan untuk menuju Bali sepertinya."

Pak Fajar menjelaskan dengan mata terpejam. Aku mengangguk mengiyakan. Di sini benar-benar tidak ada jaringan. Semua terasa sunyi dan sedikit horor.

Mendengar kata hutan mampu membuat bulu romaku berdiri. Apa-apaan ini? Aku memang berani, tetapi untuk masalah makhluk tidak kasat mata maka keberanianku akan hilang tanpa jejak.

Sepersekian detik aku mencoba memejamkan mata, tetapi suara pengeras suara memekakkan telinga. Seorang kru bus menginformasikan bahwa bus akan sampai ke pelabuhan setengah jam lagi.

"Bus akan sampai ke pelabuhan setengah jam lagi. Nanti kalau sampai semua murid harus turun."

Kesan horor yang terasa kini menguar berganti dengan rasa penasaran. Seumur hidup baru kali ini aku menaiki kapal.

Bangkai Kekasihku (Completed) [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang