Tekanan Batin

545 103 90
                                    

Hari berganti malam. Cahaya ditelan kegelapan. Suasana hati tak karuan sesosok wanita muda, tak jauh beda dengan situasi langit yang sedang ia pandangi lewat jendela kamarnya.

Bintang-bintang bertaburan menunjukkan secercah kilauan tak mengurangi pilu yang ia rasakan sedari tadi, jelas bukan kilauan harapan lagi bagi dirinya.

Dia bagaikan bulan yang dikelilingi bintang-bintang, tampak ramai, tapi tak terelakkan bahwa bulan dan bintang adalah dua hal yang tak sama. Bulan jadi satu-satunya yang bisa memahami perasaan gadis ini sekarang.

Tok... Tok... Tok... Suara pintu diketuk oleh seseorang dari luar kamar. Kriyet... perlahan pintu itu mulai terbuka.

"Visca, ini makan malam kamu ya. Karena kamu nggak mau keluar, Mama bawain ke kamar," ucap wanita yang ternyata adalah sang ibu, kemudian menaruh nampan berisi makanan di meja tak jauh dari pintu.

"Jangan sampai nggak dimakan-" ucap Mama yang langsung dipotong oleh seseorang.
"Ma, bilangin ke anaknya, jangan mikirin orang tadi yang katanya pacarnya itu! Papa nggak suka!"
"Pa!" teriak Mama kepada Papa yang berada di luar kamar.

"Kalau kamu mau ngobrol sama Mama-" ucap Mama yang kembali disela oleh orang, tapi kali ini oleh anaknya sendiri.
"Ma, Visca lagi pengen sendiri," kata gadis itu dengan lirih.
"Ya udah, kamu baik-baik ya," pesan Mama sebelum keluar dari kamar.

Visca, gadis yang sejak tadi murung di kamarnya, ternyata tak lain disebabkan oleh perselisihan dirinya dengan kedua orang tuanya atau mungkin lebih tepatnya dengan Papa.

Ekspektasi indah yang terbayang sehari sebelumnya mendadak sirna siang tadi, hancur berkeping-keping, di saat harus menghadapi realita bahwa Papa tidak menyetujui hubungannya dengan sang kekasih.

Visca terdiam di atas kasur empuk yang seharusnya menemaninya tidur. Malam itu, kasur tersebut malah menemaninya terjaga semalaman. Bagaimana bisa tidur, doanya kemarin malam agar esok hari berjalan baik pun tak terkabul. Tak ada jaminan bahwa besok semuanya akan membaik.

Visca tak menangis, bukan berarti tiada sedih di hatinya. Justru kesedihan tanpa diiringi tangisan itu membuat lukanya tertancap semakin dalam dan nyaris tak dapat untuk dicabut.

***

Walau mulutnya sempat berkata ingin sendiri, di saat seperti ini orang tuanya tak seharusnya pergi di saat ia masih rapuh. Sekarang Visca mulai ragu. Ragu untuk hidup, hidup tak sama artinya lagi, hidup tak ada maknanya lagi.

Pemikiran yang bukan-bukan mulai muncul di kepalanya. Memilih untuk mengakhiri harapan atau memilih untuk mengakhiri hidup. Dan di lubuk hatinya, pilihan terakhir terasa lebih layak untuk dipertaruhkan dari pada pilihan pertama.

Visca mengambil ponsel yang tergeletak di atas meja kecil di samping kasurnya. Tak lama setelah mulai menggunakan ponsel tersebut, ia mengetikkan beberapa kata. 'Tutorial bunuh diri tanpa rasa sakit', itulah yang ia sedang cari. Ia sudah merasa cukup disakiti, maka jika benar ia bunuh diri nanti, ia tidak mau menyakiti dirinya sendiri lebih jauh.

Kemudian, Visca berjalan menuju meja yang lebih besar dimana Mama meletakkan makanan. Ia duduk di kursi, menutup mata sambil menghela napas panjang. Tak lama, ia menggerakkan tangannya ke arah pisau yang ada di nampan. Ia genggam erat-erat dan memutuskan untuk makan.

Tak ada yang terucap sejak Mama meninggalkan kamar itu. Visca masih sibuk memotong apel dengan tatapan yang kosong. Di dalam benaknya, ia merasa perlu mati dalam keadaan perut kenyang. Aw... Lamunannya seketika buyar setelah sisi tajam pisau melukai jarinya. Sembari mencoba menghentikkan darah yang mengalir, ia menyadari bahwa pisau bukan alat bunuh diri yang 'aman'.

Komplikasi KehidupanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang