Sejak perbincangan terakhirku dengan Visca, aku lebih banyak menghabiskan waktu dengan memikirkan perkataan terakhir Visca padaku. Sampai-sampai melayani pasien pun tidak dengan sepenuh hati rasanya.
'Aku adalah seorang aktris. Pekerjaanku adalah berakting. Dokter yakin aku tidak sedang berakting?'
Hingga saat ini, aku tak dapat memahami apa maksud dari ungkapan pasienku yang satu itu.
Aku sudah mengakhiri shift hari ini, namun rasanya tubuh yang tak kuasa menahan lelah dan lemah tak selaras dengan pikiranku yang terus terngiang-ngiang ucapan siang tadi. Aku mencoba berbaring dengan sesantai mungkin di atas kasur empuk yang nyaman, namun segala kenikmatan duniawi itu tak dapat mengalihkan kegundahan yang kualami.
Kriyet... Pop tetiba muncul di balik daun pintu. "Belum tidur kamu?"
Aku pun menjawab, "Belum."
Pop beranjak dari posisinya menuju ke dalam kamarku. Ia memutuskan untuk duduk di kasur yang aku tiduri. Melihat itu, aku segera mengangkat tubuhku untuk duduk bersama dengan Pop. Pop yang melihat kegelisahan dari wajahku memutuskan untuk bertanya. "Ada apa? Ada masalah di rumah sakit?"
"Pasien yang Pop ajak bicara tadi. Dia itu pasien percobaan bunuh diri. Menurut diagnosis Radit, dia itu bisa sembuh cepat, tapi Radit khawatir mentalnya belum siap untuk sembuh. Jadi, Radit ingin mengembalikan keinginannya untuk hidup," jelasku.
"Oh. Jadi itu alasannya Pop disuruh keluar dari kamarnya tadi?" sindir Pop.
"Bukan begitu, Pop. Yang kulihat, dia agak sentimen dengan ayahnya. Jadi, aku takut dia semakin kesal," ucapku.
"Lantas apa masalahnya?" tanya Pop.
"Di saat aku mulai membuatnya terbuka dan aku sudah berpikir dia mulai berkata jujur padaku, di akhir obrolan, dia seakan mematahkan semua ucapannya sepanjang kami mengobrol," kataku.
Pop dengan wajah penasaran mencecarku dengan pertanyaan lain. "Dia bilang apa?"
"Dia bilang bahwa dia adalah seorang aktris dan sepertinya dia bersandiwara selama ini. Yang membuatku pusing, bagaimana aku bisa membedakan dia sedang berakting atau tidak," jawabku.
"Pop juga bingung. Tapi bukan karena pasienmu, tapi karena kamu, Rad. Waktu kamu kecil, kamu mau jadi psikiater atau psikolog, karena kamu mau memahami orang-orang di sekitarmu. Pop tahu kamu tetap menginginkan itu, walau kamu menjadi dokter. Pop yakin kamu pasti bisa memahami pasienmu," teguh Pop.
"Pop benar. Bodohnya Radit yang mencoba mencari tujuan hidup pasienku, tapi lupa dengan tujuan hidup sendiri. Pop ingin membantu dan memahami orang-orang di sekitar Radit. Visca hanya satu dari sekian banyak orang di luar sana, Radit pasti bisa," teguhku pada diriku sendiri.
"Kamu juga keterlaluan sih. Artis naik daun seperti Visca Rani Buyani, kamu tidak kenal," ujar Pop keheranan.
"Jadi, selama ini Pop tahu dia artis?" ucapku terkejut.
"Seluruh media sedang menyorot dia. Andai kata Pop tidak tahu siapa dia, pasti Pop tetap bisa menebak dia orang penting. Sekumpulan pencari berita tak akan jauh dari sumber beritanya," balas Pop.
Aku dengan lugunya membalas, "Ya... aku pikir media tertarik dengan kasus bunuh dirinya saja. Radit 'kan paling kudet kalau urusan media."
***
Hari berganti lagi. Waktu memang relatif dan itu membuatnya menarik. Di saat sedang menjalani waktu tersebut, lama sekali rasanya waktu itu berjalan. Tapi jika waktu tersebut sudah berlalu, cepat sekali rasanya waktu itu berlalu.
![](https://img.wattpad.com/cover/221780782-288-k285174.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Komplikasi Kehidupan
Fiksi UmumRadit, seorang dokter di sebuah rumah sakit umum, tidak menduga akan kehadiran pasien bernama Visca, seorang gadis yang gagal melakukan percobaan bunuh diri. Radit berusaha meyakinkan Visca bahwa hidup layak untuk dijalani apabila seseorang menemuka...