Ikhlas Melepas

39 5 0
                                    

Sehari setelah insiden yang menimpa Bu Wiryo masih menyisakan duka yang mendalam di lubuk hati Pak Wiryo. Pak Wiryo tak menduga, siang itu menjadi saat-saat terakhir bagi istrinya dan ia bahkan tidak ada di sana untuk mendampingi istrinya. Masih membekas di ingatannya ketika ia membawa sang istri pergi keluar rumah untuk berkeliling di pagi hari. Karena penat, ia tidak menyadari bahwa dirinya terbaring di sofa sampai tengah hari. Pak Wiryo berasumsi bahwa istrinya pergi untuk membeli makanan, karena Pak Wiryo memang belum sempat membeli makanan untuk santap siang.

Ia ingat betul, setelah terbangun dari tidurnya, ia mengecek ponsel yang ternyata berisi panggilan-panggilan tak terjawab dari Radit dan Marina. Kemudian, dibacanya satu pesan masuk yang bertuliskan, 'Pak Wiryo, istri bapak sekarang sedang di rumah sakit. Jika bapak membaca pesan ini, mohon bapak segera datang kemari.' Tanpa pikir panjang, ia langsung bergegas menuju ke RSUD Perdamaian, namun apalah daya, ternyata istri yang baru saja dia ajak berkeliling telah meninggalkan dia, pergi ke tempat yang lebih tinggi.

Di hari yang sama, Pak Wiryo harus memakamkan jenazah istrinya. Meski tinggal di Jakarta, baik Bu Wiryo maupun keluarganya bukanlah warga asli ibukota. Keluarga besar Bu Wiryo berada di Bekasi, sehingga sesuai amanat beliau, Pak Wiryo membawa jenazah istrinya ke makam keluarga di daerah Bekasi. Tidak hanya keluarga besar dan tetangga, sebagian besar tenaga medis RSUD Perdamaian turut mengiringi istri Pak Wiryo ke peristirahatan terakhirnya.

***

Ding... Dong... Ding... Dong... Bel rumah Pak Wiryo berbunyi. Pak Wiryo tidak sedang menunggu seseorang, sehingga ia pikir tamu yang datang ingin memberikan ucapan belasungkawa.

"Selamat siang, Pak Wiryo," sapa seseorang sambil berdiri membawa bunga di tangannya.

"Oh, kamu yang kemarin ya?" terka Pak Wiryo.

"Benar, Pak. Saya yang kemarin. Nama saya Visca," benar Visca.

"Oh ya, Nak Visca. Maaf, kadang saya suka terlupa nama," ujar Pak Wiryo. "Kita masuk saja ya, supaya mengobrolnya jauh lebih enak."

Keduanya masuk ke dalam rumah Pak Wiryo lalu duduk di ruang tamunya yang sederhana dan kental akan nuansa klasik. Terdapat beberapa guci cantik menghiasi ruang tersebut, mulai dari ukuran kecil sampai besar.

"Ini bunga untuk bapak," tunjuk Visca.

"Terima kasih ya, Nak Visca," ucap Pak Wiryo. "Ada apa ya datang kemari?"

"Hanya berkunjung, Pak," kata Visca.

"Tahu rumah saya dari siapa?" tanya Pak Wiryo.

"Jadi, teman saya itu pacarnya Marina, Pak. Saya minta tolong dia untuk menanyai Marina," jawab Visca.

"Oh, Marina. Kamu dan dia sepertinya seumuran ya? Dia itu orangnya sering bimbang soal asmara, kadang minta saya bimbing. Haha," ujar Pak Wiryo.

"Pak Wiryo kuat ya. Bisa tersenyum dan tertawa sesaat setelah berduka," kagum Visca.

"Kalau itu, saya juga masih berduka, entah sampai kapan. Tapi saya 'kan tidak mau terlihat berduka di depan orang lain, yang ada saya justru merepotkan nantinya. Lagi pula, dengan tersenyum dan tertawa saya bisa sedikit menghibur diri sendiri," terang Pak Wiryo.

Visca menangis. Visca terharu. Pak Wiryo yang baru saja kehilangan orang yang dicintai masih bisa tetap tegar menjalani kehidupannya. Entah apa yang ada di benaknya dahulu, hanya karena masalah kecil langsung putus asa dan tak peduli lagi dengan kehidupan.

"Hiks... Hiks..." tetes air mata Visca.

"Ada apa, Nak? Mengapa menangis?" tanya Pak Wiryo.

"Saya merasa bersalah, Pak. Walau bukan kami yang menabrak ibu, tapi saya tetap merasa bersalah. Di pikiran saya, kehadiran mobil kami membuat ibu terkejut dan jatuh," ujar Visca.

Komplikasi KehidupanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang