Tiada Harapan

116 25 2
                                    

"Pop?"

Radit terkejut melihat di dalam ruangan yang ia pikir hanya ada Visca saja, ternyata dengan tak diduga-duga justru Visca bersama ayah Radit yang entah datang dari mana.

"Rad!", teriak Pop di ruangan yang tak begitu besar untuk memantulkan suara teriakan yang cukup keras itu.

"Pop, kok tiba-tiba ada di Jakarta? Nggak kabar-kabar Radit dulu. Kok bisa ada di ruangan ini juga?" interogasi Radit.

"Kamu lupa ya? Agenda tahunan Pop ke Jakarta 'kan mau ziarah ke makam kakek-nenekmu," ingat Pop.

"Betul juga. Beberapa hari ini Radit agak banyak pikiran, jadi terlupa," jelas Radit sambil menepuk dahinya. "Mom sama Nino nggak ikut?"

"Nggak dong, adikmu 'kan sekolah," jawab Pop.

"Tapi Pop kenapa nggak tunggu di ruangan Radit kayak biasa? Ini ruangan pasien Radit, Pop," tanya Radit lagi.

"Tadi Pop di ruanganmu, terus lihat Marina ada di lorong. Ya, Pop, samperin. Habis itu Pop ikut dia mengantar makanan ke sini. Katanya Sebentar lagi kamu pasti ke sini juga, ya sudah Pop tunggu di sini." Pandangan Pop beralih ke Visca, "Lagian di sini Pop bisa nemenin pasienmu ini. Kasihan 'kan sendirian."

"Kalian akrab ya?" sela Visca.

Pop menjawab, "Begitulah." Sedangkan Radit menjawab, "Tergantung."

"Kok tergantung?" Kata Pop dan Visca bebarengan sambil memasang muka heran.

"Ya dong. Kita sering berantem juga kok. Tapi ada satu kata ajaib yang selalu berhasil menyatukan kita lagi, entah mau berapa kali pun terucap dari bibir kita yaitu kata 'maaf'. Ya 'kan, Pop?" ujar Radit dibalas dengan anggukan mengerti dan mengiyakan.

"Karena kamu sudah tahu Pop ada di Jakarta, Pop mau pergi dulu ya. Pop pinjam kunci rumah kamu, mau istirahat dulu di rumah," pamit Pop.

"Buru-buru banget, Om," celetuk Visca.

"Jangan panggil 'om'. Panggil 'Pop', ya? Pop tadi belum sempat istirahat cukup setelah dari bandara. Maklum sudah tua, perlu istirahat lebih," jelas Pop sambil menerima kunci dari Radit. "Ya sudah, Pop pamit."

"Nggak Radit antar sekalian?" tanya Radit.

"Nggak usah. Kamu jagain Visca di sini. Biar Pop naik taksi saja. Ok? Bye..." pamit Pop untuk kesekian kalinya.

***

Radit masih sedikit terkejut akan kehadiran sang ayah, walau sesungguhnya dirinya sendiri yang lupa akan kegiatan rutin sang ayah pergi ke Jakarta. Hanya saja waktunya seolah tidak tepat. Di saat Visca baru saja reda dari perdebatan Visca dengan ayah Visca, tiba-tiba Pop datang sebagai figur ayah Radit yang tampak akrab.

Ketidaktepatan waktu Pop datang juga sedikit dirasakan oleh Radit yang baru saja meneguhkan hati untuk tidak mengingat masa lalu, sebab ada sesuatu di masa lalunya dengan sang ayah yang membuat Radit sampai menjadi dirinya sekarang ini.

Radit memilih fokus pada Visca yang ia hadapi sekarang. Radit berkata, "Maaf ya, Visca. Pop memang suka begitu, aneh-aneh kelakuannya. Mulai dari nama panggilan 'Pop' yang terinspirasi dari genre musik kesukaannya, memanggilku 'Rad' dari pada 'Dit' seolah-olah sedang menyebut tikus (bahasa Inggris: Rat)."

"Nggak papa kok," balas Visca singkat.

"Kamu sudah siap untuk perbincangan panjang kita?" mulai Radit.

"Kalaupun aku bilang belum siap, apakah kamu akan berhenti bertanya tentang kesiapanku?" tanya Visca.

"Aku anggap itu jawaban 'ya', karena kamu memang nggak punya pilihan," balas Radit.

Komplikasi KehidupanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang