Jalan Terjal

135 24 12
                                    

"Dok!", teriak Visca dengan setengah tenaga yang ia miliki saat ini.

Radit langsung merespon teriakan Visca dengan menaruh telunjuk kanan di depan bibirnya. "Ssst."

"Apa-apaan itu tadi, Dok. Dokter sudah gila ya. Pakai perjanjian darah segala lagi. Memangnya itu buat main-main apa?", ujar Visca dengan lebih tenang dari sebelumnya.

"Di ruangan ini cuma kita berdua lho, dan kamu bilang di sini aku yang gila? Ok. Perjanjiannya nggak bisa dibatalin. Tapi biar aku jelasin ke kamu biar lebih jelas-". Penjelasan Radit belum juga dimulai, Visca secara tiba-tiba mengacungkan tangannya. "Ya, Visca? Ada apa angkat tangan?"

"Izin minum, Dok.", ujar Visca dengan polosnya.

"Aku dokter, bukan guru. Nggak perlu izin dulu kalau mau apa-apa.", jawab Radit sambil menggaruk-garuk kepala.

Sruuup... "Ah."

"Masih ingat minum berarti masih ada keinginan hidup dong.", goda Radit pada Visca.

"Apa boleh buat. Mau hidup, mau mati, pasti terjebak di rumah sakit ini.", balas Visca.

"Hmm. Kamu orangnya pesimis banget ya.", ucap Radit.

"Realistis, Dok. Realistis.", tanggap Visca.

"Ok. Pertama, jangan panggil aku 'Dok' lagi ya. Sama kayak manggil orang dengan profesi lain aja, pakai nama.", jelas Radit. Lagi-lagi Visca bereaksi dengan mengacungkan tangan. Kali ini Radit mencoba menebak apa maksud Visca. "Lupa ya. Namaku Radit. Nggak usah pakai 'pak', nggak usah pakai 'mas'. Kita nggak beda jauh kok umurnya."

"Bukan itu, Dok.", bantah Visca.

"Lah. 'Dok' lagi. Radit.", tuntut Radit.

"Dit...", ucap Visca yang tidak begitu yakin dengan memanggil nama dokter itu. "Di sini nggak ada makanan ya?"

"Oh, lapar juga. Kirain apa.", tanggap Radit. "Betul juga, sepertinya Marina belum mengantar makanan ya. Marina itu perawat di sini. Biar aku cari dia-"

Visca langsung memotong ucapan Radit. "Nggak usah deh, Dok. Eh, Dit. Biar nanti aku minta tolong Mama beliin makanan yang aku suka."

"Gitu ya. Hmm... Kamu suka coklat nggak?", tanya Radit.

"Kok tiba-tiba nanya itu?", tanya balik Visca dengan wajah tak mengerti. "Lagipula cewek mana sih yang nggak suka coklat."

"Nggak semua perempuan punya kesukaan yang sama. Makanya aku nanya dulu." Radit mengeluarkan bungkusan dari kantung bajunya. "Aku ada coklat kalau kamu mau, buat ganjel dulu lah minimal. Tapi yang separuh sudah aku buat sarapan. Tapi ini aku patahin kok, nggak aku gigit."

Visca menerima coklat dari Radit. Kemudian, coklat itu langsung ia makan meski sedikit demi sedikit. Radit berniat untuk melanjutkan penjelasannya.

"Sambil kamu makan coklatnya, aku lanjut ya. Sampai mana aku tadi. Oh ya. Jadi, aku ada pemikiran, sudah aku sampaikan ke Papa kamu juga. Dia setuju-setuju saja. Aku pikir kesehatan fisikmu akan baik-baik saja, hanya butuh beberapa hari kurasa untuk sembuh. Perhatianku sekarang adalah kesehatan mentalmu. Nggak ada jaminan setelah kamu sembuh kamu nggak akan melakukan hal yang sama.", jelas Radit lagi.

"Lalu? Dokter mau meyakinkanku kalau hidup lebih berarti daripada mati? Jaminannya apa kalau aku sembuh nanti, aku nggak bakal ngelakuin hal yang sama?, tanya Visca lagi.

"Bukan apa, tapi siapa. Dan orang itu aku. Aku yang akan menjamin kapan kesehatan mentalmu dikatakan sembuh. Sebelum itu, aku dan kamu akan terlibat perbincangan yang sangat panjang.", lanjut Radit.

Tiba-tiba pintu ruangan tersebut dibuka perlahan.

"Dok, maaf. Sudah belum ya?", tanya Mama dengan posisi hanya kepala saja yang tampak mengintip dari luar.

Komplikasi KehidupanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang