Sebelum Berperang

9 4 0
                                    

Membuat dokumenter berisi otobiografi? Cek.

Melakukan wawancara bertema riwayat hidup? Cek.

Mempersiapkan narasi untuk konferensi pers? Baru saja cek.

Visca menarik nafas lega. Bukan karena masalah yang ia hadapi telah selesai, sama sekali bukan. Bahkan awal pun belum dimulai. Setidaknya persiapan yang ia lakukan sudah hampir mencapai kata siap. Tapi siapakah Visca sampai berani mengukur seberapa siap dirinya, meski persiapan ini ia sendiri yang menginisiasi.

Semua ia serahkan kepada penyebab semua ini terjadi. Bukan karena kejahatan Pak Jaja, bukan pula rahasia yang disembunyikan Papa, apalagi ramalan yang disampaikan Pak Wiryo. Bukan mereka semua, melainkan ia serahkan pada Tuhan. Akhir-akhir ini Visca mulai memahami bahwa semua adalah rencana-Nya. Ketika semua terjadi atas kehendak-Nya, Visca menderita. Tetapi, apabila apa yang terjadi justru sebaliknya, mungkin ia tidak memiliki Robbie yang menjadi dunianya saat ini. Apapun yang akan terjadi, ia akan lakukan untuk Robbie.

"Robbie, kemari," panggil Visca. "Kamu bawa apa itu?"

"Bunda first," minta Robbie setelah melihat Visca juga sedang mengerjakan sesuatu di atas meja.

"Hanya catatan," jawab Visca.

"In English? Bunda never speak English," lihat Robbie dengan sekejap mata.

"Itu sebabnya bunda butuh catatan ini," jelas Visca. "Sekarang Robbie cerita, Robbie bawa apa itu?"

"My drawing," jawab Robbie tanpa menunjukkan gambarannya.

"Oh ya, boleh bunda lihat?" izin Visca.

Robbie menunjukkan hasil gambarnya yang sudah lengkap dengan pewarnaan yang cantik. Robbie berkata, "My family."

"Aw... Kamu selalu bisa buat bunda bahagia ya," ujar Visca sambil melihat gambaran Robbie dari sudut ke sudut. "Bagus, bunda suka."

"Thank you," ucap Robbie.

"Bunda dong yang harusnya mengucapkan terima kasih," balik Visca. "Tunggu, apa ini Ayah El?"

Robbie membalas dengan menggeleng-gelengkan kepala saja, membuat Visca menjadi heran.

"Lalu siapa?" tanya Visca.

"The Doctor," jawab Radit.

"Dokter? Om Radit maksudnya? Kamu kok ada-ada saja. Kalau ayahmu lihat, dia pasti sebal nanti," komentar Visca. "Tapi kenapa bunda dan Om Radit punya sayapnya, sedangkan kamu tidak?"

Tok... Tok... Tok... Suara ketikan pintu seseorang di luar kamar.

"Ya?" sahut Visca.

"Visca, Robbie, keluar yuk, makan malam sudah siap," ajak Mama. "Oh ya, ayahnya Robbie juga datang."

"Ayah!" teriak Robbie.

"Ok, Ma. Kita ke sana," balas Visca.

'Kenapa El tiba-tiba datang ke rumah malam-malam begini ya?' batin Visca.

***

Visca dan Robbie menuju ke ruang makan. Jelas mereka jadi yang paling akhir muncul di ruangan itu. Dan ternyata benar, El sudah ada di meja makan dan terlihat sedang mengobrol ria dengan Papa. Cukup aneh rasanya Papa terlihat asyik mengobrol dengan El, padahal ketika pertama kali mereka bertemu, Papa terlihat tidak begitu peduli.

"Hai, El. Tidak mengira kamu akan kemari," sapa Visca.

Belum sempat membalas, Robbie berlari menghampiri El dan memeluknya, sambil meneriakkan, "Ayah!"

Komplikasi KehidupanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang