DUA PULUH LIMA

451 46 1
                                    

Sepeda motor akhirnya berhenti di sebuah bangunan besar dengan halaman parkir yang cukup luas. Radja Futsal. Bia turun dari atas motor, ia bernafas lega. Kali ini untuk pertama kalinya Bia merasa ingin cepat-cepat sampai tujuan saat berboncengan dengan Pram. Padahal biasanya Bia paling betah berlama-lama duduk di sana.

"Yuk."

Bia berjalan mengekor di belakang Pram yang menenteng tas kecil berisi baju ganti dan sepatu futsal. Suasana lapangan futsal sangat ramai, mungkin karena hari minggu. Dilihatnya beberapa pasang mata sedang manatapnya. Ini adalah kali pertama Bia mendatangi lapangan futsal. Mungkin Bia adalah satu dari sekian cewek yang ada di sana, bedanya cewek-cewek di sana menemani sang pacar untuk bermain futsal sedang Bia? Statusnya masih abu-abu.

Di ruangan yang cukup besar itu lapangan terbagi menjadi beberapa bagian, masing-masing bagian sudah terisi. Rata-rata mereka menyewa untuk dua sampai tiga jam dengan harga sewa berkisar seratus sampai dua ratus ribu untuk tiap jamnya.

Pram melambaikan tangan ke arah teman-temannya yang sudah menunggu di lapangan. Beberapa dari mereka melemparkan tatapan keheranan, pasalnya diantara mereka tak ada satu pun yang pernah membawa pacar saat bermain futsal.

"Duduk sini aja."

Pram mengeluarkan sepatu dan baju ganti dari dalam tas. Tanpa basa-basi Pram melepaskan celananya jeans yang dipakainya, ternyata di dalamnya ia sudah memakai celana olahraga. Bia mencoba melemparkan pandangan ke arah lain. Namun tanpa sengaja matanya menangkap Pram yang tengah melepaskan kancing baju untuk berganti dengan kostum tim futsal. Bia semakin canggung, ia salting sendiri melihat pemandangan tepat di hadapannya.

Bola mata Bia membelalak, ia menjelajahi tubuh atletis Pram. Tatapannya terhenti saat menemukan sebuah tato hanzi pada dada cowok itu. Bia mengatupkan bibir sementara pikirannya menerka-nerka apa arti huruf hanzi tersebut.

"Aku ke sana ya."

Bia mengangguk pasrah membiarkan Pram bergabung dengan teman-temannya di lapangan. Menunggu itu adalah pekerjaan paling membosankan. Bia menyandarkan tubuhnya pada tembok sembari memperhatikan Mas Gantengnya itu bermain.

****

Setelah melakukan pemanasan, permainan futsal yang sebenarnya baru akan di mulai. Bia masih belum beranjak dari tempatnya, sadar mulai bosan ia mengeluarkan ponsel. "Mana nggak bawa earphone lagi."

Bia menguap entah sudah berapa kali, tiba-tiba ia merasa ada seseorang yang berdiri di sebelahnya. Bia mendongak dan menemukan Bash tengah berdiri sambil membawa air mineral dingin. Bash menempelkan botol itu ke pipi Bia.

"Jangan melamun di sini, ntar kesambet."

Kedua sudut bibir Bash terangkat sempurna, ia duduk di samping Bia dan menyodorkan minuman yang baru saja dibelinya.

"Makasih Bash, kamu tahu yang kumau."

"Udah lama nunggu?"

"Ehm, begitulah. Ampe jamuran nih Bash."

"Udah tahu lama masih aja nunggu."

Bia terdiam, ia meresapi kata-kata yang baru saja Bash ucapkan. Ada benarnya juga, sudah tahu menunggu itu membosankan, kenapa juga Bia mau melakukan itu. Obsesinya yang berlebih sudah membuat Bia jadi bucin tingkat dewa.

"Kamu nggak ikutan main?"

"Nggak..."

"Kenapa?"

""Menunggu itu membosankan makanya aku nggak mau buat kamu nunggu." Bia tercengang, ia menatap Bash yang duduk di sampingnya. Akhirnya tatapan mereka bertemu, Bia menjelajahi wajah Bash. Sepasang alis hitam membingkai mata cokelatnya. Pandangan Bia bergerak ke arah bibir, ia bisa melihat jelas Bash berkata lirih.

"Kalo menunggu itu membosankan apa berpindah hati itu menyenangkan, Bi?"

Bucin Kasta TertinggiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang