TIGA PULUH DUA

523 50 1
                                    


Elita menyandarkan tubuhnya ke tembok, melipatkan tangannya ke dada. Sedang Anggun tengah menerawang kura-kura dalam toples yang masih berhiaskan pita. Bia baru saja menceritakan apa yang terjadi antara dirinya dengan Kanya juga Bash. Bia meminta saran apa yang harus ia lakukan sekarang.

"Kenapa kamu nggak jujur sama hati kamu aja sih, Bi?" Anggun meletakkan toples itu pada tempatnya lalu terduduk di tepi tempat tidur.

"Maksud kamu?"

"Selama ini kamu selalu bilang suka sama Mas Ganteng. Mungkin itu bukan suka tapi hanya sebatas kagum. Antara mulut dan hati itu kadang nggak sinkron Bi."

"Kenapa nggak bilang ke Bash? Doi dah kasih banyak clue, kamu aja yang nggak pernah peka."

"Tapi kan, Nggun..."

"Kalo Mas Ganteng bukan jawaban dari doa-doa kamu, mungkin kamu adalah jawaban dari seseorang yang diam-diam mendoakanmu. Bisa jadi Bash."

Kalimat itu menutup obrolan mereka dengan menyisakan tanda tanya besar di hati dan kepala Bia.

Kanya sudah berada di depan kos bash untuk mengambil mobilnya, semalam Pram dan Bash mengantarnya pulang karena malam sudah larut. Bash dan Pram tak mungkin membiarkan Kanya satu-satunya cewek dalam geng mereka pulang sendirian. Kanya melihat sepeda motor Pram sudah tidak ada di garasi, ia akhirnya menelpon Bash. Tak lama Bash keluar dan mendapati Kanya duduk di teras.

"Nya..."

"Hai Bash."

Bash memberikan kunci mobil Kanya, lalu duduk di sampingnya sambil memakai sepatu.

"Pram mana?" tanya Kanya yang pura-pura sibuk memainkan ponsel.

"Keluar, paling makan."

"Kamu..." Ucapan Kanya menggantung.

"Mau nunggu Pram? Aku mau keluar, Nya."

"Oh aku pamit aja deh kalo gitu. "

Bash mengantar Kanya sampai gerbang kos. Keduanya saling diam, tiba-tiba Bash menepuk pundak Kanya.

"Sorry soal semalam. Pram udah cerita, repot-repot sih Nya. Tapi aku malah nggak datang."

"Its okay, yang penting surprisenya berhasil meski pakai plan B. Btw, kamu semalam?"

Langkah mereka terhenti, Bash menggaruk tengkuknya sedang Kanya tak sabar menunggu kalimat Bash selanjutnya.

"Bia ya? Pram bilang Bia dapat tugas buat bawa aku ke Keva." Kanya mengangguk, ia menggigit ibu jarinya sambil serius menatap Bash yang justru tertawa.

"Mau nyulik malah aku culik duluan."

"Maksud kamu?" Kedua bola mata Kanya membulat.

"Aku culik dia ke Star, candlelight ala-ala drama korea."

Ucapan Bash menghancurkan harapan yang sudah dipupuk Kanya. Nyatanya harapan itu adalah ilusi yang membutakan. Kedekatan mereka dan apa yang sudah dilakukan Kanya tak lantas membuat Bash sedikit saja lebih peka. Bash masih menganggap Kanya tak lebih dari teman satu geng.

"Sialan." Kanya mengeram jengkel. "Lihat aja nanti." Tangan Kanya terkepal membentuk tinju. Rasa marah membuat air matanya tertahan. Kanya tahu siapa yang harus ditemuinya sekarang.

Bia baru saja kembali dari warung, ia memarkirkan sepeda motornya lalu masuk ke dalam kamar. Matanya terbelalak begitu melihat Kanya sudah ada di kamarnya bersama Elita.

"Nah tuh dah balik." Elita beranjak meninggalkan Kanya dan Bia.

Wajah Kanya terlihat datar, ia tak menunjukkan ekspresi apa-apa. Bia terlihat kikuk dan canggung harus memulai dari mana. Detik berikutnya Kanya mendekati Bia dan mencengkeram pergelangan tangan Bia, menariknya untuk duduk di tepi tempat tidur.

"Aku minta maaf, Nya..."

Kalimat itu meluncur begitu saja. Raut wajah Kanya mengeras, ia terlihat tidak senang dengan ucapan Bia. Berhadapan dengan Kanya seperti ini bahkan lebih menegangkan ketimbang dengan Pram atau pun Bash.

"Gila kamu ya! Aku kira kamu itu cewek baik-baik Bi...!"

Bia menelan ludah, ia kehilangan kata-kata untuk menjawab Kanya.

"Salah besar aku minta tolong ke kamu. Ternyata wajah dan hati kamu nggak sepolos dugaanku."

"Nya, aku bisa jelasin semu-"

"Kenapa dari awal nggak bilang kamu juga suka Bash, hah? Sengaja kamu, Bi?"

Bia tertunduk lesu, susah payah ia menahan agar air matanya tak tumpah namun gagal. Kalimat yang keluar dari bibir Kanya terlalu menyakitkan bagi Bia. Ini semua tak seperti yang Kanya tuduhkan. Sayang, Bia mendadak bisu. Bibirnya kelu, ia tak sanggup mengatakan tentang perasaannya. Ini semua di luar kendali Bia sebab hati tak bisa diprediksi, ia tak bisa memilih kepada siapa harus jatuh cinta.

"Anggap kita nggak pernah saling kenal. Apapun alasannya, tetap saja kamu main curang Bi. Penikung!" Kanya mengatakan kalimat itu sambil keluar meninggalkan kamar Bia tanpa pamit.

Begitu melihat Kanya pergi, Elita segera masuk ke kamar Bia. Didapatinya Bia sedang terisak, ia menangis sesenggukan. Belum pernah Elita melihat Bia seperti ini. Ia sudah sering patah hati karena diabaikan Mas Ganteng, tapi tak pernah sekali saja ia menangis. Elita merasa kali ini Bia tak main-main dengan perasaannya.

Elita menarik Bia ke dalam peluknya, tanpa kata-kata ia mengusap-usap punggung Bia untuk membuat sahabatnya itu tenang. Hening sekian lama, Bia masih menumpahkan tangisnya di pelukan Elita, hingga akhirnya terdengar suara ponsel berdering. Bia melepas pelukan Elita lalu mengusap pipinya yang basah. Diraihnya ponsel dari atas nakas, kedua matanya terpaku ketika sebuah nama muncul di layar, Bash_Yudha.

Bucin Kasta TertinggiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang