LIMA BELAS

492 56 5
                                    

Kafe Keva terlihat begitu menawan sewaktu malam hari. Tepat di belakangnya memiliki bacground hamparan pemandangan kota Semarang dengan gemerlap lampu menyala-nyala yang menciptakan keindahan.

"Kamu pesen aja dulu, aku ke toilet bentar ya."

"Oh, oke."

"Eng- pesenin single espresso satu, deh."

"Shap, ada lagi?"

"Itu dulu. Kalo dah milih makanannya pesen aja dulu."

Bia mengangguk dan membiarkan Mas Ganteng hilang dari pandangannya. Usai menuliskan pesanan seorang pegawai menghampirinya dan membawa kertas yang bertuliskan pesanannya.

Bia sibuk mengamati sekelilingnya, ia tak hanya takjub akan keindahan ciptaan Tuhan yang ada di hadapannya. Bersyukur malam ini ia bisa menikmati keindahan itu bersama ciptaan Tuhan yang begitu dikaguminya.

"Hari sabtu, 25 Mei. Amin, ya Rabb."

Sepuluh menit menunggu, pesanan Bia diantarkan bersamaan dengan matanya menangkap Mas Ganteng yang baru saja kembali dari toilet. Bia sok-sokan cuek dan sok sibuk memainkan ponsel.

"Sorry lama, Bi"

Mas Ganteng menarik kursi yang ada di hadapannya lalu duduk persis di hadapan Bia. Kini jarak mereka hanya beberapa jengkal. Jantung Bia bergemuruh, beberapa kali tangannya mengusap dahi yang basah karena keringat dingin.

"Kok nggak makan?" tanya Mas Ganteng sembari menatap pesanan mereka yang baru saja datang. Secangkir single espresso, ice caffe latte, dan sepiring french fries.

"Masih kenyang, tadi sore baru makan soalnya."

"Diet pasti."

"Hahaha nggak lah. Kamu suka ngopi, Pram?"

"Ya gitu, kopi kan sekarang nggak cuma jadi minuman tapi dah jadi lifestyle. Makanya di Semarang banyak banget coffee shop. "

"Iya banyak banget, ada janji jiwa, lain hati, kopi kenangan, apa lagi ya?" imbuh Bia.

"Kamu nggak diapeli ni malming gini?" Deru nafas Bia memburu, ia mematung menatap temaram cahaya lilin di atas meja.

"Eng-nggak ada. Maklum jomlo."

"Udah sampai mana sama, Bash?"

Bia menunduk sembari memainkan ponselnya, ia pura-pura tidak melihat padahal ekor matanya terus mengikuti setiap gerakan yang Mas Ganteng ciptakan. Seperti sekarang saat idamannya itu merogoh saku celana dan mengeluarkan sebungkus rongkok.

"Bi, kamu nggak pa-pa kalo aku sambil ngerokok?"

Gadis itu mendongak menatap Mas Ganteng, sebatang rokok sudah diselipkan diantara bibinya.

"Baru tahu kalau kamu ngerokok, Pram."

"Ya gitu, cowok. Sehari cuma satu kok."

"Oh..."

"Satu pack, hahaha."

Suasana mulai mencair seiring perbincangan mereka yang semakin intim. Suasana kafe yang cozy semakin lengkap ketika musik mengalun mengiringi obrolan mereka. Sejauh ini belum ada tanda-tanda mengarah ke momen penembakan seperti yang Bia harapkan.

"Dapat salam ni."

"Waalaikumsalam."

"Dari Bash," imbuh Mas Ganteng.

"Oh.." jawab Bia datar.

"Dah sampai mana sama Bash?"

Bia mengendikkan bahu masih belum paham maksud perkataan Mas Ganteng.

"Kamu deket kan sama Bash?"

"Hah?"

"Suka?"

Aduh Pram to the point aja deh, jadi ceritanya lagi mau nyari info tentang aku nih. Dalam hati Bia menyimpulkan.

"Pram, sini deh." Cekrek, dengan sigap Bia mengambil gambar.

"Coba lihat." Bia memperlihatkan gambar hasil jepretannya, sayang hasilnya blur. Namun siapa sangka Mas Ganteng menawarkan untuk mengulang sekali lagi. Betapa melonjak kegirangan Bia kali ini.

"Nice..thanks, Pram."

"Gini nih resiko orang ganteng." Bia mengernyit sambil menggaruk tengkuk lehernya.

"Kenapa emang? Biasa aja kali, tiati lho naksir."

OMG, Pram!! Kamu itu paling bisa buat hati Bia jumpalitan. Udah tau Bia gampang baper malah digituin. Yaudin baper baper dah.

Bucin Kasta TertinggiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang