Alunan pianomu, jika boleh ingin kupinjam sebagai lagu pengantar tidurku.
***
___________________________________________.
"Sebelum upacara selesai, bapak ingin mengumumkan satu hal penting. Sekolah kita telah menjadi juara dance tingkat nasional untuk pertama kali," ucap Pak Kepala Sekolah penuh kebanggaan yang membuat semua siswa saling melihat satu sama lain. Mereka pun penasaran dengan siapa Si Juara itu.
"Saya ucapkan selamat untuk Ara, Dhea, dan Jessi dari kelas 10-MIPA-1. Semoga untuk kedepannya...."
Kalimat selanjutnya tak terlalu diperhatikan siswa. Kini semua sedang sibuk mencari tahu siapa ketiga anak pemilik nama yang disebut tadi. Ara, Dhea, dan Jessi memang belum terlalu populer karena mereka adalah siswa tahun pertama di SMA ini. SMA elit yang tak semua orang bisa bersekolah di sini. SMA berisi siswa berprestasi dari kalangan atas yang seragamnya tak dijual di pasaran.
***
Tiga gadis mendadak menjadi pusat perhatian sejak upacara hari Senin berakhir. Ada saja bisik-bisik tetangga yang mereka dengar setiap melewati koridor depan kelas lain. Apalagi saat di kantin seperti sekarang. Beberapa tatapan penuh tanya ditujukan untuk mereka bertiga.
"Mendadak jadi artis nih kite," kata Dhea pelan tapi masih bisa didengar Ara dan Jessi.
"Jangan star sindrom lu, Dey," balas Jessi memanggil Dhea dengan sebutan akrab, Dey.
"Halah sehari doang. Paling besok juga pada lupa." Ara dengan sikap masa bodonya seperti biasa.
Zahra Khaulah atau yang biasa dipanggil Ara, gadis bermata sipit yang tingkat kepeduliannya limit mendekati nol. Ia jarang tersenyum dan pastinya sangat cuek, apalagi dengan orang asing. Tapi jika dengan sahabatnya, Ara tidak akan berpikir ulang untuk membantu jika diperlukan. Dalam sembilan tahun terakhir, Ara hanya akrab dengan dua manusia sejak SMP yaitu Dhea dan Jessi.
Ketiganya sangat menyukai dance, terutama modern dance. Mereka hampir selalu memenangkan setiap kompetisi dance yang mereka ikuti. Seperti kemarin, mereka berhasil menjuarai kompetisi dance yang pertama mereka ikuti di tingkat SMA. Sepertinya tidak perlu waktu lama, tiga gadis ini akan menjadi selebriti sekolah.
"Awal yang bagus nih, pan lumayan jadi terkenal," kata Dhea lagi. Sepertinya Dhea lah satu-satunya dari mereka yang suka menjadi pusat perhatian.
Tiba-tiba Ara berdiri dari duduknya. "Ayo ke kelas. Bentar lagi bel masuk."
"Tanggung, Ra. Kesian siomay gue tinggal sebatang kara," balas Dhea.
"Ya udah gue ke toilet dulu." Ara berjalan ke arah toilet. Tapi langkahnya terhenti saat mendengar suara alunan piano dari ruang musik. Gadis bermata tajam itu mendekati pintu ruang musik yang sedikit terbuka. Di sana ia melihat wajah samping dari seorang gadis berambut panjang yang sedang memainkan piano di depannya.
Biasanya, Ara tak terlalu suka memperhatikan sekeliling. Namun sekarang ia penasaran dengan suara piano ini. Ara sangat suka suara melodi piano, tapi tak bisa memainkan alat musik tekan itu sendiri. Dan saat ini, alunan yang dimainkan gadis misterius itu sangat indah menari di pendengaran Ara.
Seolah terhipnotis, Ara melupakan niat awalnya untuk ke toilet. Kini langkahnya terpatri, memaksanya untuk memperhatikan gadis misterius itu. Beberapa menit terlewat begitu saja, Ara seolah ingin lebih lama mendengar melodi ini. "Siapa dia? Kok kayak familiar?" gumam Ara pada dirinya sendiri.
"WOY!" suara dua makhluk yang berhasil membuat Ara terperanjat saking kagetnya. Siapa lagi kalau bukan Dhea dan Jessi.
"Heh! Lo pada pengen jantung gue pensiun?!" sewot Ara memegang dada kirinya yang sudah berdetak di luar kendali.