enam belas

1.7K 253 49
                                    

Kepalanya terasa panas sekali

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kepalanya terasa panas sekali. Ada pikiran yang benar-benar mengganggunya. Naura menusuk telur gulung miliknya menggunakan satu sumpit, lalu memakannya dalam porsi yang besar. Itu nyaris membuatnya tersedak secara hebat kalau saja Hinaya tidak langsung memberikan jus semangka kepadanya.

Melihat itu, Hinaya menaikkan alisnya. Sedari tadi ia sama sekali tidak menyentuh makanannya. Gadis itu hanya memangku dagunya, menatap heran Naura yang masih makan dengan ekspresi marahnya itu.

Saat Naura ingin menusuk sayuran yang tidak kunjung berhasil masuk ke dalam mulutnya itu, Hinaya dengan kesal meraih sumpit milik Naura.

Tidak menjawab, Naura malah berkata dengan wajah memelasnya, "Hin..."

Hinaya dengan sabar, melipat bibirnya, lantas menjepit kedua pipi berisi Naura dengan gemas. "Jangan kayak orang gila, Naura."

"Gue nggak gila."

"Tapi nggak waras," sambung Hinaya dengan tatapan menyelidik. "Tumben nempel terus sama gue. Ada alesannya, 'kan?"

Naura mendadak tersedak. Kalimat yang baru saja diucapkan oleh Hinaya, tatapan menyelidik dan terlihat menuntut itu membuatnya menjadi takut sekaligus tidak tega untuk menyembunyikannya dari Hinaya. Tidak ada alasan apapun, sebenarnya. Dia juga tidak tahu apa yang terjadi pada dirinya. Tiga hari berturut-turut, Naura berusaha mungkin untuk menghindar dari Mark. Tapi rasanya sia-sia saja. Sebab realitanya sangat menyedihkan.

Berawal dari bersusah payah untuk bertukar tempat duduk yang sebelumnya di sebelah Mark, lalu dengan terpaksa duduk di sebelah Deena. Dan kenyataannya, Mark sama sekali tidak masuk kelas karena mendapat izin berlatih untuk kompetisinya bulan depan. Kemudian saat berjalan mengendap-endap menuju ke kantin, Naura sama sekali tidak melihat Mark berada. Kemudian juga saat kelas-kelas berikutnya, Mark sama sekali tidak peduli akan keanehan yang terjadi kalau teman sebangkunya berganti menjadi lelaki berbadan gempal yang selalu menjahilinya.

"Jadi, Naura, apa sih, tujuan lo ngelakuin ini semua?"

Naura menggedikkan bahu. "Nggak tahu." jawabnya sederhana, sejenak melamun sesaat sudah menceritakannya. Dalam kegiatannya mengaduk-aduk jus semangka yang sudah tinggal seperempat gelas, Naura kembali berkata dengan ekspresi terkejutnya, "Oh, iya!"

"Apa, apa?" Hinaya ikut terkejut.

"Itu ..." Ucapan Naura menggantung bersamaan dengan kerutan di dahi sebagai bahasa verbal kalau dia sedang berpikir keras, berusaha memastikan, "Gue belum cerita detailnya tentang makan siang gue bareng Mark, sama ... ketemu—"

"Belum!" tukas Hinaya, tersenyum lebar setelah memasang wajah kesal terhadap Naura. Ia lantas memajukan wajahnya sambil tersenyum berharap. "Ayo, cerita!"

Menidurkan kepalanya, Naura menggeleng lesu. "Nggak ada."

"Maksudnya?"

"Nggak. Jadi." Naura menekan kesal.

Hinaya memanyunkan bibirnya sedikit simpati. Ia mengulurkan tangan untuk menepuk-nepuk kepala Naura dengan pelan, terkekeh pelan. Tapi perbuatan itu malah membuat Naura mencebikkan bibirnya kesal. "Pulang dari situ, lo buka pintu kayak bibi yang punya asrama aja. Kayak lagi pemeriksaan dan mau nyita barang-barang elektronik. Dengan mata merah, terus langsung terjun ke kasur sambil nangis keras." jelasnya membuat Naura terkikik malu. "Cengeng."

"Enak aja—"

"Gue belum selesai!" Hinaya memotong dengan tatapan sinis yang membuat Naura mati kutu. "Lo sibuk mukul-mukul bantal sambil bilang 'aneh, gila, nggak peka, jahat, kejem', apalagi, ya? Nggak tau, ah."

"Emang." Naura memanyunkan bibirnya. "Mark itu aneh, gila, nggak peka, jahat dan kejam."

"Eh?"

Naura menatap kesal ke arah Hinaya, membayangkan kalau orang yang duduk di depannya ini adalah Mark; yang sedang makan sambil fokus dengan buku sudokunya, yang sedang menjawab TTS sambil minum jus semangka (jus dengan rasa buah kesukaannya juga selain pisang dan susu pisang), dan Mark yang menatapnya kesal karena Naura menumpahkan minuman—tidak, tidak. "Mark itu nggak waras. Gara-gara sikap dinginnya yang berkepanjangan, hatinya jadi beku dan bersalju, suhunya kayak di kutub utara."

Hinaya masih menatap aneh ke arah Naura.

"Tapi gue bisa bertahan hidup di sana, kok!" Naura menggebrak meja cukup keras. "Gue ... masih suka sama Mark." lirihnya pelan sambil menundukkan kepalanya.

Ekspresi menjijikan yang saat ini ada pada Hinaya, perlahan melebur. Dengan kedua iris sayu, rambut sebahu dan poni yang sedikit berantakan, Naura mengusak rambutnya semakin membuatnya rusak. Saat ini, dia benar-benar ikut sedih melihat kondisi Naura yang sangat tidak jelas seperti sekarang.

Sementara di sekitar kantin, Mark berjalan dengan Nina sambil membicarakan tentang kompetisi desain yang akan mereka hadapi bulan depan.

"Profesor Gu mau kumpulin seluruh peserta yang ikut kompetisi."

"Kenapa?" tanya Mark, sedikit menghindar dengan kesalnya saat Nina berusaha berjalan sangat dekat dengannya.

Nina mendecak pelan. "Ada informasi yang mau dikasih tahu lagi. Katanya ada yang mau dirombak."

Mark mengangguk sekilas, berusaha mengabaikan ocehan Nina disebelahnya. Perutnya sudah memberontak untuk diisi. Salahkan dirinya sendiri yang akhir-akhir ini hanya bisa memakan biskuit dan berkali-kali melewatkan jam makannya. Kesibukannya kemarin benar-benar membuatnya gila saja.

Saat mereka sudah memasuki kantin, pandangannya yang sekilas memerhatikan suasana, tidak sengaja menangkap kehadiran Naura yang sedang menunduk, kemudian mendongak dengan wajah lesunya. Kemudian baru saja ingin mengalihkan pandangan, Naura ikut menangkap kehadirannya. Pandangan mereka sejenak bersibobrok dalam diam dengan jarak yang cukup jauh. Seolah-olah ekspresi wajah dan kedua mata yang menjadi sarana pembangun komunikasi antara mereka berdua.

Nina yang mengikuti arah pandang Mark, lantas mengerutkan bibir dan alisnya tidak suka. Gadis itu kemudian membuat perlakuan yang tidak terduga. Ia menggandeng lengan Mark sambil tersenyum lebar dan berujar, "Ayo, Mark. Kita udah ditunggu, nih."

Saat sudah ditarik paksa menjauhi kantin, akhirnya Mark berhasil lepas dari genggaman Nina dan berkata dengan marahnya, "Kenapa ngikutin gue terus?"

Nina ingin membuka suaranya, tetapi Mark sudah berjalan menjauhinya dengan rasa kesal yang masih tertanam di wajahnya.

Sementara berlarut dengan waktu, Naura melebarkan iris matanya, sedikit kesal melihatnya. Tetapi ia tidak dapat melakukan apapun.

Naura hanya bisa melamun sedih. Guna mendekati Mark, metode apa lagi yang harus dilakukannya?

 Guna mendekati Mark, metode apa lagi yang harus dilakukannya?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***



























Haloo! Maap lama, terus partnya pendek, kurang berkesan dan nggak jelas hehehe.

Feel free for you to vote and comment! Jangan males berbuat kebaikan--dengan memberikan apresiasi kalian terhadap karya orang lain, ya!! <33

ᴍ ᴀ ʀ ᴋ ᴇ ᴜTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang