tiga puluh dua

517 81 14
                                    

Ada rasa bersalah karena sudah lama tidak memakai sepeda lamanya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ada rasa bersalah karena sudah lama tidak memakai sepeda lamanya. Selain karena rantainya yang mengering akibat tidak diberi pelumas dan berakhir putus, ia juga semakin merasa sedih dengan keadaan ban depan sepedanya yang sudah mulai robek. Tidak sempat dicek, dan hanya memakai asal saja. Sepedanya sudah dalam keadaan kritis, kasihan sekali sampai di bawa ke tempat rental. Dan berakhir menjadi sebuah perjalanan yang sangat lelah.

Bahkan belum sampai ke lokasi, kakinya nyaris mati rasa. Ranselnya sangat berat karena berisi laptop. Dan kejadian ini sudah beberapa kali terjadi. Apalagi ada satu kejadian sama yang lebih melekat di dalam otaknya.

Sayangnya, kali ini kejadian tersebut tidak akan terjadi. Mark lebih cepat darinya, memang begitu. Selain itu ada alasan lain kalau dia memilih untuk mengerjakan tugas kali ini lebih cepat dari sebelumnya. Setelah mengumpulkan tugas, Mark segera dipanggil oleh Prof. Gu. Nina juga mungkin akan ada di sana. Entah untuk apa. Nanti Naura akan bertanya kalau Mark berkenan untuk mengizinkannya.

Naura memelankan langkah selagi mengeluarkan ponselnya dari saku mantel, menatap percakapannya dengan Mark lewat kakaotalk yang belum juga dibalas.

[Mark, nanti makan bareng, yaaa!]

Sejenak pandangannya teralihkan pada nama 'Markeu' di sana. Bibirnya perlahan memanyun dan mulai berpikir ingin menggantinya sambil terkikik geli.

Opsi pertama yaitu 'Mas Pacar'. Naura langsung merinding sambil tertawa lebar. Lalu ia menggeleng ngeri seraya berkata, "Ih, nggak. Alay banget, Nau!"

Oke, hapus. Beralih ke opsi yang kedua yaitu 'Pacar' saja. Naura memiringkan kepalanya sejenak. "Pacar ...?" Lalu kembali tersenyum sendiri seperti orang gila dan mengangguk kuat. "Nggak buruk. Oke. Pacar!"

Tetapi kenapa di dalam kepalanya muncul suara Ayah yang sedang menatapnya dingin seolah ingin membuangnya, ya? "Berani pacaran?" Begitu kata Ayahnya. Dan Naura langsung menggeleng kuat, memukul kepalanya berkali-kali serta berkata 'nggak!'. Ayah jangan sampai mengetahuinya dulu. Nilainya tidak bisa dikatakan mendekati kata 'sempurna' atau apalah itu setelah berjanji dengan wajah semangat yang membara di depan sang Ayah. Aduh, jangan.

Dan berakhir dengan Naura yang melemaskan kedua bahunya sambil menghapus kata 'Pacar'. Huhuhu. Mari kita fokus pada perjalanannya saja.

Berkeringat, sih tidak karena cuaca siang ini sangatlah dingin. Tapi tetap saja, Naura secara reflek mengusap dahinya dengan napas terengah-engah dan berujar lemah, "Sebentar lagi sampe, tenang aja. Jangan pingsan, jangan mati. Hidup masih panjang."

Jadi kembali memilih untuk diam dalam perjalanan, Naura pikir dia benar-benar akan pingsan karena tidak sempat makan berat dan hanya fokus menyelesaikan tugasnya—nyatanya tidak begitu. Tepat setelah lima menit berhenti mengoceh tidak jelas, bunyi decitan ban sepeda di sampingnya nyaris membuatnya terkena serangan jantung mendadak. Si pengendara bahkan hanya tersenyum konyol dan menyapa ke arahnya yang masih terdiam memproses ini semua. Dia masih terkejut setelah rasa lelahnya disedot secara paksa.

ᴍ ᴀ ʀ ᴋ ᴇ ᴜTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang