dua puluh sembilan

904 120 41
                                    

Naura dikejutkan sebuah alarmnya yang berbunyi nyaring

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Naura dikejutkan sebuah alarmnya yang berbunyi nyaring. Lalu terbangun saat menyadari kenyataan bahwa ia sudah melewatkan jam kelas pertamanya. Tak lupa menatap kaos lengan pendek lavender dan celana beggy yang dipakainya semalam dengan heran. Pikirnya sesuatu telah telah terjadi sebab dia selalu memakai piyama atau daster panjang saat di malam hari. Lalu sambil turun dari kasur dengan wajah panik seketika, Naura menatap marah Hinaya. Tidak peduli rambut sebahunya yang terlihat acak-acakkan dan baju kemarin yang tidak sempat digantinya, Naura semakin menghentak-hentak kakinya kesal seraya berujar, "Kenapa nggak bangunin gue, sih, Hin?!"

Begitulah. Sepertinya si Naura masih belum mencerna semuanya.

Menutup mulut pura-pura ikut panik, Hinaya membelakakkan mata tetapi membalas dengan santai. "Kenapa emangnya?"

"Kelas gue! Gue ketinggalan kelas!" Naura menjerit ketakutan. Banyak sekali akibatnya jika dia ketinggalan kelas saat ini. Semua itu membuatnya ingin menghilang saja. "Gue banyak tugas! Katanya hari ini bakal ada tambahan tugas lagi. Terus kalo nggak ngumpul bakalan buat esai dari studio perancangan ke-8. Te-terus juga ..."

"Terus apa?" tanya Hinaya ikut penasaran akan wajah Naura yang memang murni terlihat ketakutan.

"Kemarin gue udah bilang sama Mark kalo gue mau jadi mahasiswi yang rajin kayak dia! Gue juga mau belajar bareng, oh, itu, terus ... mau ngedate—hah? Ngedate?"

"Iya?"

Naura ikut bodoh saat melihat wajah pura-pura Hinaya. "Iya?" tanyanya spontan. Lalu menutup mulutnya sejenak. Ia kemudian terkejut heran dan menunjuk Hinaya. "Lho? Lo kenapa biasa aja—bukan!" Lalu menepuk dahinya dan mengoreksi dalam hati kalau hari ini cuma ada satu kelas untuk tiga jam ke depan.

Hinaya mengangkat alis seraya menyilangkan kedua tangannya. Ia masih bersikap santai sambil merapatkan kedua bibirnya, berusaha untuk menahan tawa saat melihat ekspresi Naura yang terlihat kebingungan.

Sementara Naura menatap Hinaya dengan kedua netra yang perlahan mengabur dan berubah menjadi tatapan kosong, ia berusaha untuk berpikir keras saat kepalanya mendadak pening seolah habis tertimpa beban seberat satu ton. Tidak, tidak. Naura mengelak dalam hatinya, kepalanya pasti sakit karena terbentur dinding saat berusaha mematikan alarm ponsel.

"Itu ..." Naura akhirnya kembali mengeluarkan suara dengan pelan. Memori terakhir dengan Mark yang diingatnya adalah saat ia membantu Mark di ruang arsip perpustakaan. Ia yakin itu. Tapi tidak yakinnya kalau cuma sampai disitu saja. "Apa bener ... kalo gue udah jadian sama Mark?"

Hinaya mengernyit heran. "Jadian? Jadian apa?"

"Hah? Itu ... eh ..." Jadi peristiwa di area kampus saat hari pertama turun salju itu hanya mimpi? Ia mengalami mimpi selama ini? Wah, bunga tidur yang indah sekali, pikirnya demikian. Ini sangat mengecewakan, sejujurnya. Jadi sambil melangkah lesu menuju wastafel dan mencuci wajah dengan semangat yang semakin menurun, Naura bergumam sedih dan masih tidak percaya dengan ini semua. "Apa, sih? Bukannya kemarin Mark bener-bener suka sama gue, terus kita minum kopi di cafe, terus ke perpustakaan sama-sama, terus ..."

ᴍ ᴀ ʀ ᴋ ᴇ ᴜTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang