dua puluh enam

1.4K 206 111
                                    

Ketika Ayahnya sama sekali tidak menyetujui dirinya untuk berpisah dan memilih untuk menginap di asrama, Naura hanya bisa menghembuskan napas lelah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ketika Ayahnya sama sekali tidak menyetujui dirinya untuk berpisah dan memilih untuk menginap di asrama, Naura hanya bisa menghembuskan napas lelah. Bagaimana lagi, ya? Ayahnya itu susah sekali ditaklukkan. Sikapnya ketus tapi tidak dingin. Garang sekali sampai-sampai tidak ingin keluar kamar sekedar untuk mengambil toples biskuit lemon kesukaannya.

Saat itu juga Naura mendadak heran. Ia pikir apa yang sedang terjadi dengan Ayahnya? Kenapa tiba-tiba tidak menyetujuinya pergi setelah apa yang dilakukannya sejak kecil jelas-jelas tak pernah membuat Ayah kecewa? Maksud dari 'tidak pernah membuat sang Ayah kecewa' jelas sekali benar. Sejak kecil saat liburan musim panas tiba, ia tidak ingin bahkan sama sekali tidak tertarik untuk berpergian ke waduk dengan perahu bersama temannya. Ke wilayah lain yang lebih panas, makan sup ayam lalu berpesta saat malam harinya—dia jelas tidak menyukai itu.

Begitu seterusnya hingga pergantian musim yang semakin signifikan. Apalagi saat musim dingin yang kebetulan setelah dilanda badai salju. Daripada berlari ke hutan hingga ke danau yang beku untuk berseluncur di sana bersama teman-teman, Naura memilih untuk mengajak temannya yang bersedia menemaninya bermain bola salju serta berlomba-lomba mempercantik boneka salju di pekarangan rumah saja.

Ayahnya memang menolak keras dirinya untuk berpetualangan bahkan hingga diumurnya yang sudah mengijak ke angka lima belas. Dia pun sama seperti itu. Selain malas dan lebih memilih untuk berdiam diri menghabiskan satu hingga dua buah besar semangka utuh di dalam kamar serta berendam air dingin di siang hari yang menyengat—setidaknya perilaku manja dan malas-malasannya ini sama sekali tidak direcoki Ayah dan Mama. Bagus sekali. Sama-sama menguntungkan, ya. Begitulah.

Jadi, apa lagi yang dipermasalahkan?

Namun entah mengapa, dengan wajah dingin sang Ayah akhirnya membantu mendorong kopernya dan mengantarnya hingga ke stasiun. Wajahnya dingin sekali hingga saatnya Naura ingin mencari busnya, sang Ayah akhirnya tersenyum hangat tapi masih mengatakan perpisahan dengan nada mengancam. Naura ingat sekali setiap untaian kata-kata yang tak akan dilupakannya itu; "Kalo nggak pulang saat liburan tiba, siap-siap semua isi kamar kamu bakal Ayah pindahin di samping kotak sampah daur ulang. Inget, se-mu-a-nya."

Saat itu dia hanya balik memelototi Ayahnya dan berbalik sambil mengibaskan rambut tidak sopan. Dalam batin Naura mencibir bosan. Tapi tak sampai satu menit Ayahnya yang sibuk mendumel sementara sang Mama hanya menggeleng kecil, Naura kembali berbalik dan merentangkan kedua lengannya sangat lebar.

Perilaku selanjutnya Naura menangis keras seperti yang dia lakukan kepada sang Mama dan kopernya dini hari tadi saat Ayahnya masih tertidur pulas. Memeluk orangtuanya dengan erat sambil mengelap ingusnya pada jaket tebal yang Ayahnya pakai.

Lupakan. Tapi, kenapa disaat-saat seperti ini, Naura kembali mengingatkan tentang dirinya dan Ayah, ya?

Baginya seorang Mark saat ini tidak jauh berbeda dengan Ayahnya. Hanya berbeda di saat ia membalas setiap perilaku ketus Mark dengan nyali yang mendadak menciut seperti balon yang kehabisan udara. Berbeda dengan sikap ketua sang Ayah yang semakin dilawannya.

ᴍ ᴀ ʀ ᴋ ᴇ ᴜTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang