dua puluh lima

1.3K 205 165
                                    

—bacanya pelan-pelan aja, okei?

Di sini suasananya semakin dingin sekali

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Di sini suasananya semakin dingin sekali. Renggang, hanya dilewati beberapa mahasiswa dari fakultasnya. Itu tentu saja terjadi sebab Naura masih di area kampus dekat gedung fakultasnya. Pikirannya sudah mulai jernih. Tapi mengingat semua perlakuan Mark yang sangat dingin kepadanya saat pertama kali bertemu, hatinya terasa agak teriris kecil.

Jauh sebelum Naura mengenal Mark, pemuda itu jelas memiliki pribadi yang dingin saat menanggapi semua kata orang sekitar, kadang berbicara ketus kalau sudah merasa kesabarannya berada di ambang batas yang telah ditentukan, juga kadang-kadang membentak marah kalau kesabarannya sudah sangat melebih-lebihi ambang batas itu. Sangat menyeramkan. Tetapi begitulah adanya.

Akhir-akhir ini, Mark berkali-kali membuatnya kebingungan. Semakin bingung karena beberapa akhir ini sikap Mark agak ... apa, ya namanya? Mencair? Tidak, tidak. Meluruh? Tidak juga. Apa-apaan itu. Berubah? Naura mendecak dan menggeleng. "Enggak juga."

Matanya mengerut menatap daun yang agak layu ditemuinya di tanah, duduk di bangku yang melingkari pohon tua di taman kampus dekat gedung fakultas, bertanya pelan seolah sedang berbicara dengan manusia, "Menurut kamu, Mark suka juga sama gue atau enggak, ya?"

Naura menggeleng. "Nggak, deh." tukasnya cepat karena sekilas merasa tidak percaya diri. "Tapi Mark kadang baik sama gue. Bikin muka tiba-tiba panas enggak terkendalikan. Tapi! Tapi lagi, ya, dia itu juga masih suka dingin sama gue. Terus, darimana bisa nyimpulin kalo Mark itu juga suka sama gue?"

Sejenak, ia tergelak dan memundurkan kepalanya. "Emang gue masih suka sama Mark?" Konyol sekali. Naura meringis dan memukul kepalanya, berakhir kembali meringis pedih tapi tapi tetap melanjutkan, "Bego, bego! Kalo nggak suka, terus apa lagi? Apa, apa? Apa lagi, hah?"

Iya. Naura bingung sekaligus merasa tidak berhak membicarakan ini. Suka? Kenapa tiba-tiba memikirkan kalau Mark itu juga suka atau tidak kepadanya? Tapi semakin hari ia agak sadar kalau perlakuan Mark kepadanya lebih banyak membuatnya diam-diam tersenyum lebar karena malu merasakan pipinya yang sering memanas secara tiba-tiba. Lebih memalukan lagi kalau Nina sempat menanyakan kenapa pipinya memerah seperti udang rebus setengah matang dengan nada yang jelas tak suka.

Pikirnya jelas begitu karena menyadari kalau aksi itu terjadi saat berada di depan Mark. Sadar lagi kalau pipinya memerah setelah pemuda itu membantunya menggambar. Tidak aneh, serius?

Entah orang pikir aneh atau tidak. Tapi aksi yang Mark berikan secara tidak sengaja itu malah memberikan reaksi yang hebat dia rasakan. Duduk di depan meja gambar, lalu beberapa menit fokus pada tugas mendadak ada gangguan pada penggaris lidah. Awalnya ia pikir hanyalah masalah ringan. Tapi saat berulang-kali mengotak-atik, ia mendecak ringan saat tangan kemeja kotak-kotak yang dipakainya saat itu menyangkut di antara handel pengatur.

"Kenapa?"

Naura menoleh ke arah Mark yang bertanya kepadanya. "Pengarah vertikalnya macet, Mark. Hehe."

ᴍ ᴀ ʀ ᴋ ᴇ ᴜTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang