sembilan belas

1.5K 250 85
                                    

Perjalanan di sepanjang lorong gedung, semuanya sangat tenang; di tengah lenggangnya suasana, dan mungkin perasaan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Perjalanan di sepanjang lorong gedung, semuanya sangat tenang; di tengah lenggangnya suasana, dan mungkin perasaan.

Naura mengusap-usap lehernya, sedikit menoleh cepat terhadap Mark yang tidak berucap apapun. Mulutnya ingin terbuka, tangannya ingin terangkat menepuk lengan pemuda di sampingnya ini. Tapi ia merasa sedikit takut. Apalagi rencana awalnya yang memilih untuk tetap mengindari Mark. Bisa nggak, ya? Entahlah. Tapi kayaknya enggak, deh. Hehe.

Saat Mark menoleh dan Naura merasa tertangkap basah, gadis itu langsung bersikap semula dan Mark akhirnya bertanya, "Ada masalah?"

"Ah?" Suara Naura seperti tikus tercekik, lalu meringis malu saat Mark memasang ekspresi aneh. "Nggak ada. Nggak ada, kok, Mark."

Ada! Ada masalah! Ini berat banget, Mark. Naura diam-diam memukul punggungnya. Ia menatap sedih ke arah Mark yang tidak peka saat dua tas menggantung di tubuhnya.

Naura akhirnya kembali memulai konservasi dengan pelan dan agaknya ia ragu saat berucap, "Itu, makasih buat tumpangannya, Mark. Kalo nggak ada lo, gue ... bisa lenyap di bumi ini, mungkin? Juga nggak ada pikiran sekalipun buat ngecek e-mail. Terus juga bantuin gue—"

"Sama-sama." tukas Mark dengan cepat karena ocehan panjang lebar Naura. "Jangan mikir terlalu jauh."

Itu agak datar dan dingin, yang membuat Naura terbatuk patah-patah setelah kekehannya tak membuat ekpresi Mark berubah. Tidak tahu kenapa kalau berada di dekat Mark, ia jadi tidak bisa mengendalikan diri sepenuhnya.

Sebab beberapa akhir ini di depan Hinaya, ia selalu menyombongkan dirinya karena berhasil menghindari Mark dan menghiraukan semua pergerakan pemuda itu. Semua putaran memori itu lantas membuatnya tertawa mengejek dalam batin. Naif sekali. Padahal, Naura begitu karena setelah kelas berakhir, Mark itu terlalu sibuk dan jarang di lokasi yang selalu pemuda itu pakai untuk bersantai; kalau tidak di kantin, pasti di perpustakaan, di ruang kelas molding dekor atau ruang kelas lain yang sudah tidak ada kelas lagi (kalau-kalau tiga ruangan yang ada di daftar pikiran Naura mendadak ramai sekali).

Tapi sekarang tidak lagi. Bahkan otaknya mulai berpikir macam-macam dengan Nina yang lebih sering satu ruangan bersama Mark di Laboratorium. Hari-hari sebelumnya, ia lihat Mark dan orang-orang lain yang ikut berpartisipasi dalam lomba desain—termasuk Nina, sering melakukan latihan serta riset di ruangan tersebut. Cuma seminggu lagi, kok. Tenang aja.

Barusan ingin bicara, Naura mendengar perutnya berbunyi minta di isi. Beruntung hanya dia yang bisa mendengar, Naura kemudian memegang perutnya dengan wajah memelas. "Mark,"

"Apa?"

Naura menggigit bibirnya. "Mau makan siang, nggak?"

Aduh.

ᴍ ᴀ ʀ ᴋ ᴇ ᴜTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang